Pages

Sunday, July 14

Karena aku menyukai apapun saja di kamu.


Aku menulis ini setelah aku selesai membaca sebuah buku. Dan ini di warnet.

Kau dan aku tak pernah bisa didefinisikan. Dan meskipun kita takkan pernah menjadi nyata, tapi aku tahu perasaan ini lebih dari nyata.” – Fiersa Besari.

Entah harus kumulai dari mana. Aku bingung harus berkata apa disini. Aku mau merancau panjang tentang hari-hari selepas kejadian menyesakan itu menimpaku. Ya, sepertinya aku ingin berkeluh kesah di tulisan ini. Bagaimana aku yang sejatinya tidak suka dengan sebuah kehilangan, terpaksa harus merasakan itu lagi. Lagi!

Ah tapi sebentar, kurasa aku tak mau menuliskannya sekarang. Sebab aku tahu ini bulan Ramadhan. Bulan suci yang akan jadi hal bodoh jika aku harus berkeluh kesah terus menerus–meskipun itu harus. Aduh.

Begini, aku akan menuliskan sesuatu tentang seseorang saja. Dia yang tak pernah kalah oleh waktu, dia yang bisa bangkit dan mengajak orang di sekelilingnya bangkit. Ya, dia seorang yang akhir-akhir ini semakin dekat denganku. Dia adalah.. kita sebuat saja namanya Melati. Tadinya aku mau membuatkannya puisi, atau beberapa baris sajak yang kutahu sangat ia sukai. Namun, ah, tentu saja ia lebih berarti dari itu. Tentangnya yang setiap saat datang dan membuatku bertanya-tanya; “Ya Tuhan, apakah ini wanita yang ada di iklan parfum itu?”

Bebertapa hari yang lalu, atau lebih tepatnya tiga minggu yang lalu, saat aku begitu butuh pegangan dan butuh penawar  racun dari sakitnya kehilangan. (kehilangan disini bukan kehilangan wanita, cinta atau apapun itu yang berkaitan dengan hormon dopamine). Aku kehilangan sesuatu yang benar-benar menyesakan! Sesak!
Ia datang mengulurkan tangan padaku saat aku mengumpulkan air mata di pojokan sepi. Ia memberiku senyum, tawa, dan setidaknya setitik kebahagiaan. Ia seperti Bunda Maria jika aku melebihkannya. Hehe..
“Aku nggak suka liat kamu sedih.” Begitu katanya setelah aku selesai menyusun air mataku kembali.
Lalu aku tersenyum... 

Dan sekarang saat aku menuliskan ini, aku pun tersenyum. Entah kenapa dari zaman aku memakai kaos kaki bolong , sampai sekarang aku memakai kaos kaki yang tidak bolong, ia selalu hadir ketika aku kesusahan. Begitu banyak pertolongan-pertolongan yang ia berikan secara ikhlas dan cuma-cuma. Ah, makannya aku bingung harus melakukan apa untuk sekedar membuatnya merasa bahwa aku disini; untukmu.

Singkat cerita, puasa ramadhan jatuh di hari kedua; aku sakit. Ah, sungguh aku menyesalinya. Aku jadi tidak bisa puasa.Ia kembali datang, kali ini ia tidak sekedar membawa senyum, tawa, atau setitik kebahagiaan. Lebih dari itu, ia membawaku kembali untuk sembuh –meskipun disini Allah ikut ambil peran. Ya, ketika aku sakit aku tidak berani untuk makan atau minum walau secuil dan setetes. Sebab entah kenapa aku akan langsung muntah. Dan untuk mensiasati itu, aku harus makan buiah pir dan minuman soda atau isotonik tepat di tengah malam. Aneh ya? Aku juga heran. Saat aku membutuhkan pertolongan, ia datang. Ia membawakanku hal-hal yang kubutuhkan ketika aku sakit. Apa saja? Ah, itu rahasiaku dan ia dan Dia. :)
Dan kau tahu hal yang paling istimewanya; ia merawatku! Ya Tuhan, ia benar-benar seorang penyelamat.
Aku pun membaik dan akhirnya sembuh. Sungguh aku sangat berterima kasih pada wanita bernama Melati itu. Sungguh-sungguh berterima kasih.

Namun, ada satu permintaanku yang harus kau patuhi, jika kau membaca ini.
Tolong jangan pernah menanyakan bagaimana bentuk perasaanku pada mereka yang kau kira dekat denganku. Karena kupastikan kau tak akan butuh itu, apalagi aku. Bagaimana? Sanggup?

Tetaplah jadi dirimu. Tetaplah jadi dirimu. Tetaplah jadi dirimu. Karena aku suka itu. Tetaplah berkerudung meski aku tak suka wanita berkerudung. Karena aku menyukai apapun saja di kamu. :)


 













Jogja,





Saturday, May 11

Jangan lupa untuk pulang, ya? :)

Hallo kawanku. Apa kabar lukamu? Sudah mengering? Bagaimana Mahameru? Oh iya, masalah SMSmu kemarin malam... Begini;

Aku tahu kamu sudah menghabiskan banyak waktumu untuk pendakian panjang di banyak pegunungan. Tentu saja aku juga tahu kamu tidak suka naik gunung. Kamu hanya berharap lukamu bisa sembuh disana. Di gunung. Di tempat yang konon begitu banyak keajaiban tercipta. Jujur aku tak punya kuasa apapun untuk melarangmu melakukan tindakan tersebut, karena toh aku juga sedang menyembuhkan lukaku. Karena bukankah orang yang lagi menata hati itu bebas melakukan apapun? Hanya saja aku tidak naik gunung. Aku lebih suka menonton Film di laptopku. Sebab, entah kenapa Film membuatku baik-baik saja. Sebelum aku menulis ini, aku menonton beberapa Film yang "Aneh". Salah satunya Life of Pi. Dimana tiga agama ada dalam diri seseorang. "Apa salahnya punya agama banyak?" begitu kata Pi.

Dan kawanku. Kembali pada permasalahanmu.

Sebenarnya jika menurutku, dia, mantanmu itu, hanya perlu hadir sebagai kenangan yang tidak bisa lagi menyakitimu. Kenangan yang hanya diam di ujung ingatanmu, tanpa kecuali. Maka saranku; berlarilah kawanku, sekencang yang kau bisa, sekuat tenagamu. Kemudian melompatlah. Tertawalah, menangislah, rasakan hidup. Setelah selesai, tundukan kepalamu sejenak. Kemudian syukurilah Tuhan pernah mencoba hatimu dengan rasa yang paling sakit, tapi kau bisa selamat dan bertambah kuat. Dan bila lukamu sudah sembuh, jangan lupa untuk pulang, ya? :)












Jogja

Wednesday, May 8

"Aku mencintaimu di segala kondisi, sayang"

Aku sudah sangat jauh melupakan kisah sedih dari sebuah kepergian yang brengsek. Yang terkadang bisa sangat membahayakan kesehatan tubuhku. Itu sudah beralangsung cukup lama, sampai pada malam ini akhirnya malah muncul lagi. Sebenarnya ini bukanlah sesuatu yang begitu penting, hanya saja entah kenapa, sekali lagi, ini jadi begitu penting! Tadi aku melihat fotonya, ia mengenakan kemeja pink dan rambutnya di ikatkan ke belakang. Ya Tuhan. kenapa wanita bisa begitu mempengaruhi ketika rambutnya di ikat? Kemudian aku menyapanya; "Hallo nona senja.." tapi ia tak menggubris. Sialan! Ia sudah benar-benar melupakannku.

Kadang aku suka membayangkan ia datang padaku, entah siang entah malam entah pagi entah kapanpun itu. Dengan membawa serenteng nasi putih beserta lauk pauknya. "Ini buat kamu. Tadi aku yang masak. Kalau nggak enak jangan bilang nggak enak." katamu dengan suara kecilmu. Aku hanya tersenyum, dan hatiku bersabda;"Makanan apapun jika berada di tanganmu, adalah orang tolol yang mengatakan tidak enak."
Ah, kenapa kenangan begitu tak bisa terlepas, sedangkan waktu terus saja beranjak?

Terlanjur basah, ya sudah mandi sekalian! Maka kuingat-ingat lagi keromansaan aku bersamanya ketika bumi masih biru. Ketika jam tujuh pagi selalu disibukkan dengan sarapan dan memakai sepatu. Ketika matahari, bulan, dan bintang gemintang masih sangat bersahabat. Ketika, nama samaranku, adalah; Zidane! :D

Dulu, jika kami bertengkar, kami salalu membanting ponsel. Beruntung, saat itu ponselku masih hitam hijau. Dan ponselnya sudah ada mp3nya. Beberapa kali ia kerusakan ponsel, dan beberapakali itu juga aku kerusakan ponsel. Pernah suatu hari, aku ketahuan membonceng wanita(padahal itu kakanya sendiri) ia marah besar, sampai seluruh semesta ia kutuk sedemikian rupa. "Itu kakak kamu, sayang." kataku mencoba menjelaskan. "Iya,aku tahu. Tapi kenapa kamu nggak minta ijin dulu sama aku?!" katanya parau. Aduh, duh, kenapa wanita suka sekali menaruh kaca-kaca di matanya ketika belum waktunya datang bulan?

Kemudian, ada lagi kejadian yang membuatku masih sering berharap jatuh cinta pada wanita sepertinya.

Begini..

Sama dengan pasangan pada umumnya, yang masih rajin mencurahkan perhatian dalam bentuk-bentuk yang bisa kita tebak. Seperti membelikan pulsa, membelikan es jus, menaruh coklat diam-diam di tas sekolahnya, mengerjainya dengan mengganti nomer ponsel kita, atau barangkali sok-sok kenal dengan orang tuanya supaya keliatan anak rajin dan soleh. Nah, si orang yang lagi saya bicarakan ini juga sering melakukan itu. Tapi anehnya ia selalu berhasil membuat saya berkata; "Anjing! Ini cewe emank bener-bener tulus! Tanpa embel-embel, cuk!"
Pada suatu siang yang panas. Ia datang dengan kaos hijau ketat juga gelang warna putih di pergelangan.


..bersambung


 

Saturday, April 13

Arinnadya Nasluh

"Arin, darimanakah datangnya kesedihan jika gelas-gelas ini selalu terisi dan terangkat? Padahal waktu begitu berbaik hati dengan memberikan ruang tuk tertawa. Aduh Rin, malam ini semua jadi kasat."

Arinnadya Nasluh, aku merasa dingin sekarang. Semoga kamu tidak dingin. Dan aku akan berkeluh padamu tentang sesuatu yang meresahkan. Mungkin buatmu tak ada pentingnya. Tapi coba bacalah saja sampai selesai. Dan tentu saja baca atas nama ketiadaanmu.

ehem..

Arin.

Arin, aku sudah terlalu jauh berjalan dalam kolom-kolom yang disediakan nasib. Berjibaku menantang angkuhnya batu-batu dalam semesta yang keras. Sampai udara pun jarang menimpa paru-paru. Tapi sepertinya, disini Rin, segalanya sudah tak berbentuk. Sudah tak sesuai aturan. Sudah malesin. Sudah jelek. Semua sedang tak baik-baik saja. Ya, Rin. Seperti sebuah kutukan yang mematikan! Maka Rin, malam ini kupandangi ujung-ujung hujan yang runcing. Kuciumi aroma udara yang syarat akan kepergian. Supaya sejenak bisa ku impikan hidup melunak dan tak selalu meninggalkan. Eh tapi Rin, ngomong-ngomong, kenapa kita selalu ingin pergi, tapi cepat pula ingin kembali, ya? Sialan! Gelas-gelas ini menertawaiku lagi, Rin. Tapi biarlah. Ah, andai aku jadi gelas saja.











 












Jogja,

Saturday, March 30

Yang kedua.

Malam ini malam minggu. Saya sudah tahu. Saya rasa malam ini akan banyak keringat dan cucuran air mata, entah dimana pun itu. Saya prediksi, kira-kira nanti antara jam sembilan sampai jam duabelas, disini, di facebook ini, akan banyak keluh kesah yang semestinya tak penting untuk di WOW-kan. Saya belum mandi dari tadi ketika bangun jam empat tepat. Saya malas mau mandi. Lagipula disini dingin. Airnya juga dingin.

Lalu saya ingat si Kartika Nirmala itu, dia di Nganjuk sekarang. Nggak tahu deh, dia ngapain. Menurut dugaan dan, sekali lagi, prediksi saya, mungkin ia keluar bersama kekasih pujaan hatinya yang sudah di kangeni-nya itu sampe lupa makan. Mungkin, saat ini, saat saya sedang menulis ini, dia lagi makan jagung bakar, atau nasi pecel, atau hamberger, atau barangkali makan kuah sambel balado dingin. Saya nggak tahu, saya bukan Tuhan Yang Maha Tahu. Saya hanya menebak, Bukankah manusia itu kerjaannya menebak?

Nasib atau barangkali bisa di katakan takdir(apa bedanya?) jadi yang nomer dua itu betul-betul tak membuat kita baik-baik saja. Kita tak bisa menuntut, dan ketika kita memaksakan untuk menuntut, itu akan jadi butiran debu saja. (Nama kucinta, ketika kita bersama, berbagi rasa untuk selamanya.) Ya, apalagi ketika kita mencoba memaksa untuk menjadi "nakal", tentu saja kita pun tak akan bisa menunaikannya. Sebab, kita yang memilih untuk menjadi yang kedua. Kita yang membuat keputusan! Kita tak bisa seenak udelnya sendiri. Asu ya?

Lama saya berfikir, lalu otak saya seperti terkilir. Jadi yang kedua enaknya hanya ketika kita bertemu saja. Enaknya hanya ketika kita bisa secara langsung melihat pesona laut dimatanya. Ketika secara pelan tapi pasti bibir kita meluncur tepat di pipinya. Ketika secara langsung tangannya kita remas kemudian kita bilang; "Tresnoku karo kowe koyo jaran. Ra tau anteng!" Ketika secara langsung kita bisa menemukan seikat pelangi yang terselip di bibirnya. Ketika secara langsung kita... ah pokoknya secara langsung!
Saat ia jauh, saat ia tak bersama kita, kita serasa hidup kita ini dipermainkan olehnya. Bagaimana tidak? Kita; saya disini murung-murungan tak jelas, sementara ia disana numpak-numpakan tangan dengan sekaleng soda. Bukankah ini menyakitkan bagi siapa pun? Tapi sekali lagi; ini sudah konskwensi! Kita bisa saja pergi dengan wanita lain atau lelaki lain untuk bersenang-senang menghabiskan waktu berjam-jam. Tapi ketika kita melakukan itu, sungguh tindakan kita menjadi yang kedua itu hanya buang-buang waktu saja. Untuk apa kita menjadi yang kedua jika kita cuma main-main?
Sejatinya jadi yang kedua adalah pengorbanan yang tak pernah selesai.

Saya merasa saya merasakan apa yang dulu mantan saya rasakan ketika ia sajelas-jelas saya duakan. Ah, pantas saja mantan saya itu melakukan tindakan extrem dengan memberitahu kelakuan saya pada pacar saya. Ia nggak betah jadi yang kedua! Aduh, duh, kasian sekali mantan saya itu. Maafkan saya ya? :')

Pesan moralnya adalah; please seseorang atau dewa bawakan saya nasi telur orak-arik. Saya lapar dan saya sakit. Asu.
***

Disini saya hanya menulis omong kosong. Tentu saja segala hal didalamnya pun juga omong kosong. Tapi terkadang omong kosong selalu Kun fayakun.


 











Jogja,

Wednesday, March 27

Obrolan Intim Dengan Hanif.

..begitulah, bagai sebuah gerimis, datang dengan tiba-tiba, pun pulang dengan tiba-tiba. Tanpa rencana, tanpa duga. Dengan sebuah kenangan yang lusuh, yang terlipat dalam sebuah hati yang menjerit. Perih..
Hanif, seorang teman yang sadar betul, bahwa hidup ini begitu tak terencana. Begitu rahasia. Seperti gerimis. Ya, gerimis. Ritmis.


Malam ini tak seperti biasanya, begitu banyak yang ia bagi denganku, banyak yang ia ceritakan padaku melebihi hal-hal sepele yang tak penting. Tentang sebuah kisah nano-nano dengan para wanita-wanita yang datang dan pergi di hati. Ia menangis, ah salah, maksudku ia menjerit! Kehilangan begitu menyiksa, Ia seperti ingin meneriakan sesuatu. Sesuatu yang sering di sebut-sebut orang sebagai; cinta sejati.

"Gw jomblo dah lima tahun, Res." Katanya singkat.

Aku tak merespon. Aku diam. Meski aku tahu ia butuh respon, tapi, apakah ini saat yang tepat untuk melawak? Tidak, kurasa tidak. Aku menunggu kata-kata selanjutnya. Kurasa ia serius. Ia ingin berkisah..

"Nggak ada yang bisa kaya dia, Res. Dia itu kaya maliakat, bidadari yang diturunin Tuhan buat ngerubah jalan pikiran gw. Gw jadi kaya gini gara-gara dia. Gw dulu tu masih kaya bocah, Res. Sering ngacao kalo sama cewe. Emank sich, gw nggak berubah jadi orang yang bener-bener baik, tapi seenggaknya dia buat gw jadi sadar kalo kebaikan itu emank penting di dunia yang makin kaya anjing ini. Dan itu nyata! Gw bener-bener bersyukur kenal sama dia. Dia malaikat. Bidadari. Penyelamat!"

Sejenak ku hisap Surya. Kubuang asapnya dengan satu kali desahan. Ah, lagi-lagi kenangan. Dadaku bergetar, entah karena apa. Tanganku juga bergetar, juga entah karena apa. Lalu aku bicara..

“Lima tahun bukan waktu yang dikit buat ngelupain seseorang, Nif. Gw tahu yang lu rasain, tapi gw nggak tau cara yang tepat buat ngubur masa lalu. Kadang masa lalu itu emank kaya anjing. Berengsek! Bikin kita nyesek. Bikin pening!”

Ia tak menjawab. Ia hisap Surya yang tinggal setengah lalu membuang asapnya dengan penuh penghayatan. Di titik ini aku tahu, bahwa ia lagi menyusun kenangan-kenangannya. Ia ingin bercerita  lebih jauh, tapi ku tahu pasti tak akan lebih dalam. Maka aku bertanya:

“Apa kabarnya sekarang, Nif?”

“Terakhir gw ketemu dia di lampu merah, Res. Dia masih cantik. Masih kaya bidadari. Dan itu ngga terbantah! Masih sempurna..”

“Kok nggak lu cegat?”

“Kagak lah, Res. Gw udah ikhlas ngelepas dia. Lagian dia udah dapet yang terbaik sebagai seorang wanita. Dia punya suami yang gw tau pasti sayang banget ma dia. Dia punya anak yang gw tau pasti bakal secantik dia nantinya. Dia punya keluarga yang bahagia. Ya, dia bahagia, Res. Dengan keluarganya..”

“Dah berapa lama lu jalan ma dia?”

“Sembilan bulan.”

“Mantan terlama?”

“Yes! Juga yang terbaik.”

Keadaan hening. Rokonya habis, dan aku belum. Terdengar sayup-sayup suara mp3 dari sebuah tempat yang jauh. Lampu masih benderang menerangi malam yang semakin naik. Kulirik ia sekilas. Ia nampak begitu lelah. Seperti kehilangan semangat yang biasa kulihat darinya. Ia jatuh(lagi) ke tempat itu. Ia merindukan masa-masa itu. Masa-masa terbaik dalam hidupnya selama berhubungan dengan mantanya tersebut. Nafasnya begitu panjang, tak teratur, dimatanya kulihat ada gerimis, meski tak menjadi hujan, tapi aku tahu pasti bahwa itu gerimis. Ya, itu gerimis! Maka aku jadi yakin, bahwa ia betul-betul ingin kembali ke saat-saat itu. Kenangan..

“Ceritain ke gw masa-masa yang paling berkesan pas lu sama dia?” kataku.

“Semuanya berkesan, Res!” jawabnya mantap.

“Yang paling, paling, paling!”

Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia berhenti. Seperti tersendak biji duku. Sejenak ia meundukan kepala, lalu melanjutkan..

“Pas ujan, Res.”

Lagi-lagi suasana hening. Aku merasakan waktu melambat disekitarku. Seaakan dunia sedang mengarah padaku. Ia menundukan kepala lagi. Aih, kenapa selalu hujan? Hujan, hujan, hujan.

“Kita makan bakso, Res. Pas gw ngasih saos di piring gw, dia liat mata gw terus bilang, ‘Pake saos jangan banyak-banyak donk, nggak baik tau.’ Saat itu gw diem sich, Res. Tapi setelah itu dia pegang tangan gw, sambil bilang, ‘Kalo jadi cowo itu mbo yo sing teges.’ Nah! Disitu gw ngerasa hidup ini cuma buat gw dan dia. cuma buat kita! Ya, Res, buat kita! Bukan buat orang-orang diluaran sono yang cuma mikirin perut dan kelamin mereka. Dan sampe sekarang kata-kata itu selalu buat gw bangkit pas gw lagi drop. Tuhan emang Mahabaik, Res!”

“Ya, Nif. Tuhan emank Mahabaik.” Jawabku singkat. Aku berfikir sejenak kemudian bertanya..

“Sebab kenapa lu putus sama dia?”

“Sorry, Res. Gw nggak bisa cerita.”

“Ah, baiklah.”

Pokonya nggak ada yang bisa kaya dia, Res. Dia itu utuh kaya gitu. Dia dengan dirinya sendiri yang di mata gw bener-bener sempurna. Dia…. Ah, pokonya dia gokil! Dan gw harap gw bisa dapetin cewe yang kaya dia lagi.

Percakapan kami berhenti sejenak…

“Jadi ini alasan lu kenapa puasa sampe lima tahun?” tanyaku.

“Yes!”

Lalu kurasakan pening di kepala. Hatiku terus saja berkata-kata tak jelas. Aih, aku pernah seperti Hanif, aku pernah sekarat, aku pernah terjebak ke tempat paling menyeramkan di dunia, kenangan. Ah, betapa sempitnya hidup ini.

“Kenapa nggak lu tulis, Nif? Buat cerpen gitu?”

“Nggak Res, kemampuan berkata-kata gw nggak bakal bisa ngewakilin moment-moment berharga itu. Nggak ada yang mampu..”


***

Percakapan kami selesai. Ia pun pulang kerumahnya, ke Bantul. Aku sendiri di kos. Kemudian wajah seorang mantan muncul di langit-langit kamar, tak lama, hanya sedetik, kemudian pergi, dan muncul wajah seorang yang sekarang ku jaga. Pacaraku, aih betapa aku sangat tolol jika ia kusia-siakan! Tidak, aku sudah berdamai dengan hatiku. Aku tak mau membuang-buang waktu! Aku serius dengannya. Dengan seluruh nafas dan jiwaku. Ya, dengan seluruh hidupku..
Aku serius!

















Jogja,


Nirmala Jelek.

“Ini  tidaklah penting. Keindahan tak melulu soal yang sempurna. Kamu dengan lucu suaramu dan wajah menjengkelkan(:p), telah membuat aku dan sekitarku jadi begitu bermakna! :D”
            Siang yang terik. Matahari tepat di atas genting. Suasana membosankan. Membuat waktu begitu lambat berjalan. Kamar serasa berubah menjadi tempat yang mematikan. Dan badanku, basah. Keringat. Kulirik jam di tangan, sudah setengah satu. Tapi kamu belum  juga muncul. Lalu kuputuskan untuk terus membaca tulisan-tulisan di blog-mu.
            Happy brith-bye.
Hei, selamat ulangtahun untuk kali kedua aku ucapkan ini sejak aku dan kamu bersepakat menjadi “kita”. Selamat ulangtahun untuk kamu yang kini sudah berkepala dua, sudah dewasa tentunya… bla, bla, bla..
            Diposkan oleh Nirmala di 05.58.00 0 komentar Link ke posting ini
“Haha, masa lalu.” Kataku dalam hati.
Tapi tetap saja…
            Sebuah pesan singkat masuk, dari kamu. Katamu “bisa keluar ga?” lantas aku keluar. Haha ternyata benar dugaanku, kamu salah tempat. “Kesini,” kataku padamu yang bergegas ke arahku. Akhirnya kamu masuk ke tempat aku biasa membuang-buang waktu. Kini kita berdua di dalam kamar. Berdua saja. Aih, apa yang biasa dilakukan pasangan jika di dalam kamar berdua-duaan? Berdua saja? Membuat peyek!
            “Kamu udah makan?” kataku pelan tapi kupastikan kamu mendengarnya.
            “Udah kok tadi di kampus.” Jawabmu singakat.
            “Mau minum?”
            “Nggak usah.”
            “Oke.”
            Suasana hening seketika. Kamu duduk tak rapat dengan dudukku. Aku tak bisa melihat wajah keseluruhanmu. Aku hanya bisa melihat rambutmu dan tanganmu. Seperti ada jarak. Jarak yang entah bagaimana caranya membuat salah satu ginjalku terasa putus. Canggung? Tidak! Aku hanya bingung apa yang harus kukatakan jika aku dekat dengan kamu. Masa aku mau bilang “Maukah kamu menjadi isteriku?” bego! Kamu pasti langsung pulang. Kamu pun begitu, kamu cuma diam dan hanya berkata seperti orang yang lagi radang tenggorokan. Kuputuskan untuk bertanya tentang bagaimana cara main twitter. Kamu sigap mengajari. Dan, akhirnya kita dekat. Dekat. Dekat. Dekat… kita saling bersentuhan tangan. Dan saat itu terjadi, bunga-bunga mekar di dadaku. Aneh. Betul-betul aneh. Tapi kamu biasa saja. Tak merasa aneh. Tapi aku aneh.
            Kita berbicara banyak hal. Kamu cerita kecoa(lagi). (Saat kamu cerita tentang kecoa, dan itu lagi-lagi membuatmu gila, sungguh dalam hatiku yang paling dalam  aku berkata; ”Sepertinya ada yang salah dengan anak ini. Semoga Tuhan yang Mahabaik membuatnya tabah dan sabar”). Saat kamu bicara panjang lebar aku lebih memilih untuk diam, tapi diamku bukan tak menghiraukanmu, tapi adalah caraku untuk mengukur sejauh manakah mitos tentang jantung yang deg-degan itu bisa di percaya. Dan ternyata mitos itu memang benar-benar mitos! Jantungku nggak deg-degan kok. Jatungku biasa saja. Tapi semua organ di dalam tubuhku loncat-loncatan kesana kemari. Dan itu membuatku repot bukan kepalang. Kamu…
            Setengah empat. Kamu pun pulang…
Jogja,

Cepatlah Pulang!

Terhitung sudah tiga hari kamu jauh dariku. Kamu pergi meski pergimu tak selamanya. Kamu pergi ke tempat lahirmu. Ke tempat dimana tersimpan kehangatan yang jauh dari kata membosankan. Bertemu dengan ayah dan ibumu, bertemu dengan adik dan teman-temanmu, bertemu dengan (mungkin) mantanmu. Rumah; Nganjuk. Tempat yang juga aku sukai setelah hampir lima tahun aku disana. Bersekolah, bermain, berpetualang, “berperang”, bergelut, berkhayal, ber, ber, ber… (Meski pada sejatinya rumahmu dan rumahku agak berjauhan. Aku di pucuk gunung dekat sawah-sawah, sedangkan kamu di pucuk kota dekat jalan raya. Namun aku merasa kita berasal dari embrio yang sama) Jujur saat aku menulis ini, aku jadi rindu dengan kota itu, rindu pada angin utaranya, rindu pada sejuk udaranya, rindu pada nasi pecel kebanggannya, rindu pada ramah penghuninya, dan rindu pada bunyi hujan di awal bulan Oktober-nya. Tapi jujur, sekali lagi, jujur, semuanya itu tak serindu aku sekarang meridukanmu!

Ya, terhitung sudah tiga hari kamu tak bisa kutemui. Itu berarti sudah tujuh puluh dua jam kamu tak bisa kusentuh, semuanya nampak begitu berubah! Semuanya kelihatan nggak beres! Waktu yang biasanya berjalan cepat, kini begitu melambat. Aku seperti menua! Beruban dan berjenggot. Sementara aku menikmati tua-ku, aku membuang-buang waktu dengan merokok di dalam kamar; sambil membayangkanmu, tentu saja.

Di jogja saat ini, hujan dari tadi begitu bimbang. Kadang datang, kadang pulang. Kadang deras, kadang ritmis. Suasana jadi galau. Apalagi kamu, membatalkan untuk pulang segera.  Ya Tuhan, aku ingin menyusulmu saja! Tapi kamu bilang kamu pulang tengah malam nanti. Itu berarti aku harus menunggumu lagi; menua lagi. Ya.





              Cepatlah pulang pacarku, sebab aku tak mau menua sendirian..







Jogja,

Monday, January 14

Wanita oh wanita..

"Aku masih sering tidak percaya, betapa seorang wanita yang indah, cantik, sopan, halus, dan lembut tutur sapanya, ternyata bisa tidak setia. Kadang aku merasa hatiku sakit, tapi tidak untuk diriku sendiri, melainkan untuk suaminya."

Di pos ronda aku duduk menghilangkan keringat, sambil melihat senja. Melihat orang-orang pulang pergi. Melihat anak-anak kecil. Melihat langit yang begitu muram. Melihat Nisa di jemput ayahnya. Melihat tukang gorengan menjual tahu ke ibu-ibu. Melihat Mamanya Andre menyapu halaman. Dan melihat kakiku yang di banjiri darah segar bekas tadi main bola. Tiba-tiba dari balik pohon bambu kulihat ia berciuman dengan seorang, yang pasti baru saja dikenalnya, di sebuah sudut. Tapi aku tidak melihatnya lagi.

Sambil minum segelas air dingin, aku bersandar. Merasakan angin, dan memandang senja berubah menjadi malam. Langit senja yang merah, mengingatkan aku kepada segala hal yang pantas dikenang. Ku dengar samar-samar adzan membelah angkasa. Suara serangga kian redup. Ah, ah, ah. Sekarang aku teringat kampung halaman! Nganjuk! Kenapa kita selalu ingin pergi, dan setelah pergi selalu ingin kembali? Apakah hidup seperti pohon bambu itu, sebentar tenang dan sebentar ribut?

Tahu-tahu ia mendatangiku. Bibirnya basah. Bajunya berantakan, begitu pun rambutnya. Lalu ia berkata..

"Kenapa mesti percaya kalau cinta itu ada?"
Anjing! Tidakkah aku juga ingin mengatakannya?

"Kenapa tidak? Apakah kamu tidak percaya cinta itu ada?"
Matanya memandang jauh.

"Suamimu. Dia masih suka menghubungimu?"

"Yeah."

"Masih mengucapkan cinta?"

"Yeah."
Kupandang matanya dalam-dalam. Seberapa jauhkah seorang wanita bisa jujur?

Kemudian handphonenya berbunyi. Kudengar ia ber-ya-ya-ya. Yeah. Setiap orang punya urusan. Aku juga mempunyai banyak urusan. Memangnya kenapa? Aku beranjak mau pergi. Tapi, ia menekan pundakku supaya tetap duduk. Ia ngomong bahasa inggris. Wesewes, wesewes.. Kelihatanya bergaya. Aku mau berdiri lagi. Tapi ditekannya lagi sembari matanya berkedip-kedip. Ah fuck! Ia menguasaiku!










Cikande,

Bla, bla, bla.. 4 (sketsa isi hati dari seorang teman)

Mengingatmu adalah bunuh diri tak mati-mati! Tapi ku beranikan untuk melupakanmu. Segala tulisan-tulisan tentangmu dan berpuluh-puluh potret dirimu sudah ku bakar habis tak tersisa, setelah jadi abu segera ku campur dengan kopi hitam lalu ku minum: juga tak tersisa. Tak ku beri kau kesempatan untuk hadir, bahkan sekedar dalam serpihan! Melegakan. Ya, melegakan sekali rasanya. Ketenangan menyergapku, dan malam-malamku tak lagi ku isi dengan lagu-lagu sendu. Berganti dengan lagu-lagu keceriaan, kebahagiaan, keindahan, juga ketentraman. Kini, aku bisa menjalani rutinitas hidupku dengan benar. Pagi kerja, sore pulang, malam bertemu isteri, pagi kerja, sore pulang, malam bertemu anak, begitu setiap hari. Benar-benar jadi normal, 'kan? Dan memang begitulah kehidupan seharusnya ku jalani!

Tapi.. Bla, bla, bla.. Kau seperti tak rela. Kau hadir di ruang yang lain. Gelap, pengap. Ruang mimpi. Tentu saja aku kelabakan bukan main. Karena sekali lagi, mengingatmu adalah bunuh diri tak mati-mati. Maka ku iris-iris mimpi itu menjadi potongan paling kecil; serpihan.
"Membunuhku adalah kata lain dari sia-sia!"
Begitu katamu dalam mimpiku. Aku diam, lalu kau tertawa seperti dosen yang memiliki segudang pengalaman ketika berhadapan dengan mahasiswa puber idealisme: berkoceh penuh semangat sampai tak menghiraukan kata-kata apa saja yang berlompatan dari mulutnya.

"Anjing! Kenapa kau tak bisa mati?"

"Membunuhku, tanpa restu dari Tuhan, itu sesat!"

"Apa lagi yang bisa aku lakukan kecuali lari?"

"Berlarilah. Lari kemanapun kau suka. Ke barat, utara, selatan, timur, Iran, Mesir, Bangladesh, Aceh, Padang, Kuburan.. Kalau habis nafasmu, kita akan bertemu lagi disini. Tepat disini."

Dan kau tersenyum penuh kemenangan. Sungguh, ingin betul aku merangsek, menjatuhkan, dan menyorongkanmu ke kolong tempat tidurku. Kemudian ku tusuk dengan garpu tepat di jantungmu. Setelah itu ku iris tubuhmu kecil-kecil. Agar kau bisa merasakan bagaimana kacau-ku, yang begitu berat melepas kepergianmu yang tanpa rencana dan firasat itu!








Cikande,