Pages

Monday, January 14

Wanita oh wanita..

"Aku masih sering tidak percaya, betapa seorang wanita yang indah, cantik, sopan, halus, dan lembut tutur sapanya, ternyata bisa tidak setia. Kadang aku merasa hatiku sakit, tapi tidak untuk diriku sendiri, melainkan untuk suaminya."

Di pos ronda aku duduk menghilangkan keringat, sambil melihat senja. Melihat orang-orang pulang pergi. Melihat anak-anak kecil. Melihat langit yang begitu muram. Melihat Nisa di jemput ayahnya. Melihat tukang gorengan menjual tahu ke ibu-ibu. Melihat Mamanya Andre menyapu halaman. Dan melihat kakiku yang di banjiri darah segar bekas tadi main bola. Tiba-tiba dari balik pohon bambu kulihat ia berciuman dengan seorang, yang pasti baru saja dikenalnya, di sebuah sudut. Tapi aku tidak melihatnya lagi.

Sambil minum segelas air dingin, aku bersandar. Merasakan angin, dan memandang senja berubah menjadi malam. Langit senja yang merah, mengingatkan aku kepada segala hal yang pantas dikenang. Ku dengar samar-samar adzan membelah angkasa. Suara serangga kian redup. Ah, ah, ah. Sekarang aku teringat kampung halaman! Nganjuk! Kenapa kita selalu ingin pergi, dan setelah pergi selalu ingin kembali? Apakah hidup seperti pohon bambu itu, sebentar tenang dan sebentar ribut?

Tahu-tahu ia mendatangiku. Bibirnya basah. Bajunya berantakan, begitu pun rambutnya. Lalu ia berkata..

"Kenapa mesti percaya kalau cinta itu ada?"
Anjing! Tidakkah aku juga ingin mengatakannya?

"Kenapa tidak? Apakah kamu tidak percaya cinta itu ada?"
Matanya memandang jauh.

"Suamimu. Dia masih suka menghubungimu?"

"Yeah."

"Masih mengucapkan cinta?"

"Yeah."
Kupandang matanya dalam-dalam. Seberapa jauhkah seorang wanita bisa jujur?

Kemudian handphonenya berbunyi. Kudengar ia ber-ya-ya-ya. Yeah. Setiap orang punya urusan. Aku juga mempunyai banyak urusan. Memangnya kenapa? Aku beranjak mau pergi. Tapi, ia menekan pundakku supaya tetap duduk. Ia ngomong bahasa inggris. Wesewes, wesewes.. Kelihatanya bergaya. Aku mau berdiri lagi. Tapi ditekannya lagi sembari matanya berkedip-kedip. Ah fuck! Ia menguasaiku!










Cikande,

Bla, bla, bla.. 4 (sketsa isi hati dari seorang teman)

Mengingatmu adalah bunuh diri tak mati-mati! Tapi ku beranikan untuk melupakanmu. Segala tulisan-tulisan tentangmu dan berpuluh-puluh potret dirimu sudah ku bakar habis tak tersisa, setelah jadi abu segera ku campur dengan kopi hitam lalu ku minum: juga tak tersisa. Tak ku beri kau kesempatan untuk hadir, bahkan sekedar dalam serpihan! Melegakan. Ya, melegakan sekali rasanya. Ketenangan menyergapku, dan malam-malamku tak lagi ku isi dengan lagu-lagu sendu. Berganti dengan lagu-lagu keceriaan, kebahagiaan, keindahan, juga ketentraman. Kini, aku bisa menjalani rutinitas hidupku dengan benar. Pagi kerja, sore pulang, malam bertemu isteri, pagi kerja, sore pulang, malam bertemu anak, begitu setiap hari. Benar-benar jadi normal, 'kan? Dan memang begitulah kehidupan seharusnya ku jalani!

Tapi.. Bla, bla, bla.. Kau seperti tak rela. Kau hadir di ruang yang lain. Gelap, pengap. Ruang mimpi. Tentu saja aku kelabakan bukan main. Karena sekali lagi, mengingatmu adalah bunuh diri tak mati-mati. Maka ku iris-iris mimpi itu menjadi potongan paling kecil; serpihan.
"Membunuhku adalah kata lain dari sia-sia!"
Begitu katamu dalam mimpiku. Aku diam, lalu kau tertawa seperti dosen yang memiliki segudang pengalaman ketika berhadapan dengan mahasiswa puber idealisme: berkoceh penuh semangat sampai tak menghiraukan kata-kata apa saja yang berlompatan dari mulutnya.

"Anjing! Kenapa kau tak bisa mati?"

"Membunuhku, tanpa restu dari Tuhan, itu sesat!"

"Apa lagi yang bisa aku lakukan kecuali lari?"

"Berlarilah. Lari kemanapun kau suka. Ke barat, utara, selatan, timur, Iran, Mesir, Bangladesh, Aceh, Padang, Kuburan.. Kalau habis nafasmu, kita akan bertemu lagi disini. Tepat disini."

Dan kau tersenyum penuh kemenangan. Sungguh, ingin betul aku merangsek, menjatuhkan, dan menyorongkanmu ke kolong tempat tidurku. Kemudian ku tusuk dengan garpu tepat di jantungmu. Setelah itu ku iris tubuhmu kecil-kecil. Agar kau bisa merasakan bagaimana kacau-ku, yang begitu berat melepas kepergianmu yang tanpa rencana dan firasat itu!








Cikande,