Pages

Saturday, March 30

Yang kedua.

Malam ini malam minggu. Saya sudah tahu. Saya rasa malam ini akan banyak keringat dan cucuran air mata, entah dimana pun itu. Saya prediksi, kira-kira nanti antara jam sembilan sampai jam duabelas, disini, di facebook ini, akan banyak keluh kesah yang semestinya tak penting untuk di WOW-kan. Saya belum mandi dari tadi ketika bangun jam empat tepat. Saya malas mau mandi. Lagipula disini dingin. Airnya juga dingin.

Lalu saya ingat si Kartika Nirmala itu, dia di Nganjuk sekarang. Nggak tahu deh, dia ngapain. Menurut dugaan dan, sekali lagi, prediksi saya, mungkin ia keluar bersama kekasih pujaan hatinya yang sudah di kangeni-nya itu sampe lupa makan. Mungkin, saat ini, saat saya sedang menulis ini, dia lagi makan jagung bakar, atau nasi pecel, atau hamberger, atau barangkali makan kuah sambel balado dingin. Saya nggak tahu, saya bukan Tuhan Yang Maha Tahu. Saya hanya menebak, Bukankah manusia itu kerjaannya menebak?

Nasib atau barangkali bisa di katakan takdir(apa bedanya?) jadi yang nomer dua itu betul-betul tak membuat kita baik-baik saja. Kita tak bisa menuntut, dan ketika kita memaksakan untuk menuntut, itu akan jadi butiran debu saja. (Nama kucinta, ketika kita bersama, berbagi rasa untuk selamanya.) Ya, apalagi ketika kita mencoba memaksa untuk menjadi "nakal", tentu saja kita pun tak akan bisa menunaikannya. Sebab, kita yang memilih untuk menjadi yang kedua. Kita yang membuat keputusan! Kita tak bisa seenak udelnya sendiri. Asu ya?

Lama saya berfikir, lalu otak saya seperti terkilir. Jadi yang kedua enaknya hanya ketika kita bertemu saja. Enaknya hanya ketika kita bisa secara langsung melihat pesona laut dimatanya. Ketika secara pelan tapi pasti bibir kita meluncur tepat di pipinya. Ketika secara langsung tangannya kita remas kemudian kita bilang; "Tresnoku karo kowe koyo jaran. Ra tau anteng!" Ketika secara langsung kita bisa menemukan seikat pelangi yang terselip di bibirnya. Ketika secara langsung kita... ah pokoknya secara langsung!
Saat ia jauh, saat ia tak bersama kita, kita serasa hidup kita ini dipermainkan olehnya. Bagaimana tidak? Kita; saya disini murung-murungan tak jelas, sementara ia disana numpak-numpakan tangan dengan sekaleng soda. Bukankah ini menyakitkan bagi siapa pun? Tapi sekali lagi; ini sudah konskwensi! Kita bisa saja pergi dengan wanita lain atau lelaki lain untuk bersenang-senang menghabiskan waktu berjam-jam. Tapi ketika kita melakukan itu, sungguh tindakan kita menjadi yang kedua itu hanya buang-buang waktu saja. Untuk apa kita menjadi yang kedua jika kita cuma main-main?
Sejatinya jadi yang kedua adalah pengorbanan yang tak pernah selesai.

Saya merasa saya merasakan apa yang dulu mantan saya rasakan ketika ia sajelas-jelas saya duakan. Ah, pantas saja mantan saya itu melakukan tindakan extrem dengan memberitahu kelakuan saya pada pacar saya. Ia nggak betah jadi yang kedua! Aduh, duh, kasian sekali mantan saya itu. Maafkan saya ya? :')

Pesan moralnya adalah; please seseorang atau dewa bawakan saya nasi telur orak-arik. Saya lapar dan saya sakit. Asu.
***

Disini saya hanya menulis omong kosong. Tentu saja segala hal didalamnya pun juga omong kosong. Tapi terkadang omong kosong selalu Kun fayakun.


 











Jogja,

Wednesday, March 27

Obrolan Intim Dengan Hanif.

..begitulah, bagai sebuah gerimis, datang dengan tiba-tiba, pun pulang dengan tiba-tiba. Tanpa rencana, tanpa duga. Dengan sebuah kenangan yang lusuh, yang terlipat dalam sebuah hati yang menjerit. Perih..
Hanif, seorang teman yang sadar betul, bahwa hidup ini begitu tak terencana. Begitu rahasia. Seperti gerimis. Ya, gerimis. Ritmis.


Malam ini tak seperti biasanya, begitu banyak yang ia bagi denganku, banyak yang ia ceritakan padaku melebihi hal-hal sepele yang tak penting. Tentang sebuah kisah nano-nano dengan para wanita-wanita yang datang dan pergi di hati. Ia menangis, ah salah, maksudku ia menjerit! Kehilangan begitu menyiksa, Ia seperti ingin meneriakan sesuatu. Sesuatu yang sering di sebut-sebut orang sebagai; cinta sejati.

"Gw jomblo dah lima tahun, Res." Katanya singkat.

Aku tak merespon. Aku diam. Meski aku tahu ia butuh respon, tapi, apakah ini saat yang tepat untuk melawak? Tidak, kurasa tidak. Aku menunggu kata-kata selanjutnya. Kurasa ia serius. Ia ingin berkisah..

"Nggak ada yang bisa kaya dia, Res. Dia itu kaya maliakat, bidadari yang diturunin Tuhan buat ngerubah jalan pikiran gw. Gw jadi kaya gini gara-gara dia. Gw dulu tu masih kaya bocah, Res. Sering ngacao kalo sama cewe. Emank sich, gw nggak berubah jadi orang yang bener-bener baik, tapi seenggaknya dia buat gw jadi sadar kalo kebaikan itu emank penting di dunia yang makin kaya anjing ini. Dan itu nyata! Gw bener-bener bersyukur kenal sama dia. Dia malaikat. Bidadari. Penyelamat!"

Sejenak ku hisap Surya. Kubuang asapnya dengan satu kali desahan. Ah, lagi-lagi kenangan. Dadaku bergetar, entah karena apa. Tanganku juga bergetar, juga entah karena apa. Lalu aku bicara..

“Lima tahun bukan waktu yang dikit buat ngelupain seseorang, Nif. Gw tahu yang lu rasain, tapi gw nggak tau cara yang tepat buat ngubur masa lalu. Kadang masa lalu itu emank kaya anjing. Berengsek! Bikin kita nyesek. Bikin pening!”

Ia tak menjawab. Ia hisap Surya yang tinggal setengah lalu membuang asapnya dengan penuh penghayatan. Di titik ini aku tahu, bahwa ia lagi menyusun kenangan-kenangannya. Ia ingin bercerita  lebih jauh, tapi ku tahu pasti tak akan lebih dalam. Maka aku bertanya:

“Apa kabarnya sekarang, Nif?”

“Terakhir gw ketemu dia di lampu merah, Res. Dia masih cantik. Masih kaya bidadari. Dan itu ngga terbantah! Masih sempurna..”

“Kok nggak lu cegat?”

“Kagak lah, Res. Gw udah ikhlas ngelepas dia. Lagian dia udah dapet yang terbaik sebagai seorang wanita. Dia punya suami yang gw tau pasti sayang banget ma dia. Dia punya anak yang gw tau pasti bakal secantik dia nantinya. Dia punya keluarga yang bahagia. Ya, dia bahagia, Res. Dengan keluarganya..”

“Dah berapa lama lu jalan ma dia?”

“Sembilan bulan.”

“Mantan terlama?”

“Yes! Juga yang terbaik.”

Keadaan hening. Rokonya habis, dan aku belum. Terdengar sayup-sayup suara mp3 dari sebuah tempat yang jauh. Lampu masih benderang menerangi malam yang semakin naik. Kulirik ia sekilas. Ia nampak begitu lelah. Seperti kehilangan semangat yang biasa kulihat darinya. Ia jatuh(lagi) ke tempat itu. Ia merindukan masa-masa itu. Masa-masa terbaik dalam hidupnya selama berhubungan dengan mantanya tersebut. Nafasnya begitu panjang, tak teratur, dimatanya kulihat ada gerimis, meski tak menjadi hujan, tapi aku tahu pasti bahwa itu gerimis. Ya, itu gerimis! Maka aku jadi yakin, bahwa ia betul-betul ingin kembali ke saat-saat itu. Kenangan..

“Ceritain ke gw masa-masa yang paling berkesan pas lu sama dia?” kataku.

“Semuanya berkesan, Res!” jawabnya mantap.

“Yang paling, paling, paling!”

Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia berhenti. Seperti tersendak biji duku. Sejenak ia meundukan kepala, lalu melanjutkan..

“Pas ujan, Res.”

Lagi-lagi suasana hening. Aku merasakan waktu melambat disekitarku. Seaakan dunia sedang mengarah padaku. Ia menundukan kepala lagi. Aih, kenapa selalu hujan? Hujan, hujan, hujan.

“Kita makan bakso, Res. Pas gw ngasih saos di piring gw, dia liat mata gw terus bilang, ‘Pake saos jangan banyak-banyak donk, nggak baik tau.’ Saat itu gw diem sich, Res. Tapi setelah itu dia pegang tangan gw, sambil bilang, ‘Kalo jadi cowo itu mbo yo sing teges.’ Nah! Disitu gw ngerasa hidup ini cuma buat gw dan dia. cuma buat kita! Ya, Res, buat kita! Bukan buat orang-orang diluaran sono yang cuma mikirin perut dan kelamin mereka. Dan sampe sekarang kata-kata itu selalu buat gw bangkit pas gw lagi drop. Tuhan emang Mahabaik, Res!”

“Ya, Nif. Tuhan emank Mahabaik.” Jawabku singkat. Aku berfikir sejenak kemudian bertanya..

“Sebab kenapa lu putus sama dia?”

“Sorry, Res. Gw nggak bisa cerita.”

“Ah, baiklah.”

Pokonya nggak ada yang bisa kaya dia, Res. Dia itu utuh kaya gitu. Dia dengan dirinya sendiri yang di mata gw bener-bener sempurna. Dia…. Ah, pokonya dia gokil! Dan gw harap gw bisa dapetin cewe yang kaya dia lagi.

Percakapan kami berhenti sejenak…

“Jadi ini alasan lu kenapa puasa sampe lima tahun?” tanyaku.

“Yes!”

Lalu kurasakan pening di kepala. Hatiku terus saja berkata-kata tak jelas. Aih, aku pernah seperti Hanif, aku pernah sekarat, aku pernah terjebak ke tempat paling menyeramkan di dunia, kenangan. Ah, betapa sempitnya hidup ini.

“Kenapa nggak lu tulis, Nif? Buat cerpen gitu?”

“Nggak Res, kemampuan berkata-kata gw nggak bakal bisa ngewakilin moment-moment berharga itu. Nggak ada yang mampu..”


***

Percakapan kami selesai. Ia pun pulang kerumahnya, ke Bantul. Aku sendiri di kos. Kemudian wajah seorang mantan muncul di langit-langit kamar, tak lama, hanya sedetik, kemudian pergi, dan muncul wajah seorang yang sekarang ku jaga. Pacaraku, aih betapa aku sangat tolol jika ia kusia-siakan! Tidak, aku sudah berdamai dengan hatiku. Aku tak mau membuang-buang waktu! Aku serius dengannya. Dengan seluruh nafas dan jiwaku. Ya, dengan seluruh hidupku..
Aku serius!

















Jogja,


Nirmala Jelek.

“Ini  tidaklah penting. Keindahan tak melulu soal yang sempurna. Kamu dengan lucu suaramu dan wajah menjengkelkan(:p), telah membuat aku dan sekitarku jadi begitu bermakna! :D”
            Siang yang terik. Matahari tepat di atas genting. Suasana membosankan. Membuat waktu begitu lambat berjalan. Kamar serasa berubah menjadi tempat yang mematikan. Dan badanku, basah. Keringat. Kulirik jam di tangan, sudah setengah satu. Tapi kamu belum  juga muncul. Lalu kuputuskan untuk terus membaca tulisan-tulisan di blog-mu.
            Happy brith-bye.
Hei, selamat ulangtahun untuk kali kedua aku ucapkan ini sejak aku dan kamu bersepakat menjadi “kita”. Selamat ulangtahun untuk kamu yang kini sudah berkepala dua, sudah dewasa tentunya… bla, bla, bla..
            Diposkan oleh Nirmala di 05.58.00 0 komentar Link ke posting ini
“Haha, masa lalu.” Kataku dalam hati.
Tapi tetap saja…
            Sebuah pesan singkat masuk, dari kamu. Katamu “bisa keluar ga?” lantas aku keluar. Haha ternyata benar dugaanku, kamu salah tempat. “Kesini,” kataku padamu yang bergegas ke arahku. Akhirnya kamu masuk ke tempat aku biasa membuang-buang waktu. Kini kita berdua di dalam kamar. Berdua saja. Aih, apa yang biasa dilakukan pasangan jika di dalam kamar berdua-duaan? Berdua saja? Membuat peyek!
            “Kamu udah makan?” kataku pelan tapi kupastikan kamu mendengarnya.
            “Udah kok tadi di kampus.” Jawabmu singakat.
            “Mau minum?”
            “Nggak usah.”
            “Oke.”
            Suasana hening seketika. Kamu duduk tak rapat dengan dudukku. Aku tak bisa melihat wajah keseluruhanmu. Aku hanya bisa melihat rambutmu dan tanganmu. Seperti ada jarak. Jarak yang entah bagaimana caranya membuat salah satu ginjalku terasa putus. Canggung? Tidak! Aku hanya bingung apa yang harus kukatakan jika aku dekat dengan kamu. Masa aku mau bilang “Maukah kamu menjadi isteriku?” bego! Kamu pasti langsung pulang. Kamu pun begitu, kamu cuma diam dan hanya berkata seperti orang yang lagi radang tenggorokan. Kuputuskan untuk bertanya tentang bagaimana cara main twitter. Kamu sigap mengajari. Dan, akhirnya kita dekat. Dekat. Dekat. Dekat… kita saling bersentuhan tangan. Dan saat itu terjadi, bunga-bunga mekar di dadaku. Aneh. Betul-betul aneh. Tapi kamu biasa saja. Tak merasa aneh. Tapi aku aneh.
            Kita berbicara banyak hal. Kamu cerita kecoa(lagi). (Saat kamu cerita tentang kecoa, dan itu lagi-lagi membuatmu gila, sungguh dalam hatiku yang paling dalam  aku berkata; ”Sepertinya ada yang salah dengan anak ini. Semoga Tuhan yang Mahabaik membuatnya tabah dan sabar”). Saat kamu bicara panjang lebar aku lebih memilih untuk diam, tapi diamku bukan tak menghiraukanmu, tapi adalah caraku untuk mengukur sejauh manakah mitos tentang jantung yang deg-degan itu bisa di percaya. Dan ternyata mitos itu memang benar-benar mitos! Jantungku nggak deg-degan kok. Jatungku biasa saja. Tapi semua organ di dalam tubuhku loncat-loncatan kesana kemari. Dan itu membuatku repot bukan kepalang. Kamu…
            Setengah empat. Kamu pun pulang…
Jogja,

Cepatlah Pulang!

Terhitung sudah tiga hari kamu jauh dariku. Kamu pergi meski pergimu tak selamanya. Kamu pergi ke tempat lahirmu. Ke tempat dimana tersimpan kehangatan yang jauh dari kata membosankan. Bertemu dengan ayah dan ibumu, bertemu dengan adik dan teman-temanmu, bertemu dengan (mungkin) mantanmu. Rumah; Nganjuk. Tempat yang juga aku sukai setelah hampir lima tahun aku disana. Bersekolah, bermain, berpetualang, “berperang”, bergelut, berkhayal, ber, ber, ber… (Meski pada sejatinya rumahmu dan rumahku agak berjauhan. Aku di pucuk gunung dekat sawah-sawah, sedangkan kamu di pucuk kota dekat jalan raya. Namun aku merasa kita berasal dari embrio yang sama) Jujur saat aku menulis ini, aku jadi rindu dengan kota itu, rindu pada angin utaranya, rindu pada sejuk udaranya, rindu pada nasi pecel kebanggannya, rindu pada ramah penghuninya, dan rindu pada bunyi hujan di awal bulan Oktober-nya. Tapi jujur, sekali lagi, jujur, semuanya itu tak serindu aku sekarang meridukanmu!

Ya, terhitung sudah tiga hari kamu tak bisa kutemui. Itu berarti sudah tujuh puluh dua jam kamu tak bisa kusentuh, semuanya nampak begitu berubah! Semuanya kelihatan nggak beres! Waktu yang biasanya berjalan cepat, kini begitu melambat. Aku seperti menua! Beruban dan berjenggot. Sementara aku menikmati tua-ku, aku membuang-buang waktu dengan merokok di dalam kamar; sambil membayangkanmu, tentu saja.

Di jogja saat ini, hujan dari tadi begitu bimbang. Kadang datang, kadang pulang. Kadang deras, kadang ritmis. Suasana jadi galau. Apalagi kamu, membatalkan untuk pulang segera.  Ya Tuhan, aku ingin menyusulmu saja! Tapi kamu bilang kamu pulang tengah malam nanti. Itu berarti aku harus menunggumu lagi; menua lagi. Ya.





              Cepatlah pulang pacarku, sebab aku tak mau menua sendirian..







Jogja,