Pages

Monday, February 3

Mamah

Tulisan ini kutulis pukul sembilan pagi. Selepas aku menenggak air putih dan menghisap sebatang rokok ketengan –dengan mencuci mukaku terlebih dahulu, tentu saja. Disebelahku, pulas tertidur seorang pemuda kurus dengan posisi tangan mengapit guling. Sepertinya ia sedang mimpi bertemu Rastri –wanita yang membuatnya sadar bahwa melepaskan bukan berarti meninggalkan. Dan tepat di hadapanku tivi 14inch bernama Samsung, mengintervensi laju kepalaku, seperti sedang mengatakan; kau tidak sendiri. Aku disini, sama sepertimu –kesepian.

Dan oh ya,catatan ini khusus kutulis untukmu. Untuk wanita yang sering kupanggil Mamah dalam setiap SMS-SMS gila atau pertemuan-pertemuan absrak. Mungkin tulisan yang akan kau baca ini akan membuatmu mengerutkan dahi, atau bertanya-tanya maksud dari tulisan ini. Tenang saja, jangan khawatir, kau tak perlu memahaminya secara dalam-dalam, kau hanya perlu membacanya saja. Ya, tak lebih dari itu.Iqro.

Begini…
Hai Mah, apakah kau percaya bahwa ketika manusia bermimpi, ada sesuatu dibawah alam sadarnya yang sedang bekerja untuk memberikan pertanda? Jika iya, anggukan kepalamu.

Dan apakah kau percaya, jika mimpi adalah jembatan dimana manusia bisa saling mengkoneksikan satu sama lain? Jika iya, tetap anggukan kepalamu.

Apakah kau juga percaya, mimpi mampu membangun unsur-unsur terpenting dari lima huruf absurd itu? Cinta. Jika iya, terus anggukan kepalamu.

Jika aku memimpikanmu, dan kau juga memimpikanku, apakah itu juga termasuk deretan panjang skenario Tuhan yang sering kita sebut sebagai takdir? Jika iya, pertahankan angukan kepalamu,

Terakhir, Mah. Apakah defenisi yang benar-benar defenisi dari mimpi itu sebenarnya?

Pause

Ya Mah, aku rasa ini masih terlalu pagi untuk memikirkan hal-hal aneh itu. Hal-hal yang semoga akan kita temukan jawabannya ketika tua nanti. Maka, sudahlah Mah. Biarkan pertanyaan-pertanyaan itu mengendap dalam kepalamu. Biarkan menyepikan diri dari hiruk-pikuknya zaman dan keadaan. Pada waktunya ia akan mengungapkan siapa jati diri yang sebenarnya. Jangan dipikirkan. Nanti kau sakit, dan aku paling tidak suka melihatmu sakit –nanti aku juga jadi sakit. Semesta pun juga sakit.

Play
 
Mah, sudah bangun kau? Aku tahu kamu belum bangun. Sebab saat aku SMS, kamu tidak membalasnya.(?) Tak apa, aku tahu kau sibuk. Toh, dengan melihat fotomu di Facebook saja, sudah membuatku tenang kok. :)Aku sedang melihat profilmu, Mah. Ada fotomu disana. Ah, lucu. Lucu sekali. Aku suka. Dan aku jadi membayangkan bisa mengajakmu ke suatu tempat dimana waktu bisa berhenti. Dimana luka-luka akan menghilang kemudian berganti dengan kebahagiaan-kebahagiaan sederhana. Tapi ah, kurasa dengan bersamamu setiap waktu saja, sudah membuat duniaku berhenti, lah. Jadi aku tak akan mengajakmu kemana-mana. :D

Oh ya Mah, nanti kalau kita bertemu, aku ingin menanyakan sesuatu padamu -sekedar untuk memastikan saja; sebenarnya dari mana kau dapatkan mata lautmu itu? Juga alis pakismu?
semoga kau bisa menjawabnya ya Mah. :)

***

Mah, apakah kau mencitaiku dengan segenap hatimu?

***

Mah, beberapa hari lalu, kita sempat membicarakan panjang lebar tentang masa lalu –orang-orang yang ada dibelakang.  Orang yang pernah mengisi hari-hari kita dengan bunga-bunga atau puisi-puisi cinta paling purba. Kau setuju dengan pendapatku yang bahwa perasaan itu bisa hilang tapi kenangan tidak. Kau seperti  juga merasakannya. Ya Mah, aku bersumpah demi Lenovo, semua orang juga merasa seperti itu! Tidak bisa tidak. Maka, tetaplah seperti itu. Dan aku akan mencintaimu dengan segenap hatiku.

Mah, pagi ini aku merasa sedikit bahagia. Sebab semalam tadi aku bisa mendengar suaramu yang kata teman-temanku seperti Syahrini lagi mandi. Meski ada sedikit kejutekan disuaramu, but im fine. Aku suka apa pun yang tidak aku suka darimu dan aku harus menyukainya –itu seperti berlari mengejar matahari kan Mah? Berlari tidak ada habisnya-habisnya, dalam menyukaimu. :)

Oh ya Mah, kau secara tersirat pernah bilang bahwa berjuang itu harus bersama-sama. Tidak boleh masing-masing. “Bahagia, ya bahagia berdua. Sakit, ya sakit berdua.”Begitu katamu penuh emosi. Ya Mah, aku tahu itu. Tapi ah, ada sesuatu yang sebenarnya tak kau tahu dariku. Dan rasanya aku bisa menyangkal itu jika aku mengatakannya padamu. Tapi jangan sekarang, tidak sekarang. Ada waktunya. Dan kuharap kau sabar menunggu…

***

Mah, apakah kau mencintaiku dengan seluruh hidupmu?

***

Mamah yang baik,
Jika aku pergi saja bagaimana? Seperti apa yang dirasakan pacarmu ketika kau menghempaskannya kemarin lalu-lalu.

***

Melihat dan mendengar suaramu, Mah. Ah, tak ada habis-habisnya rasa rinduku. Melihatmu dari jarak, mengamatimu dari sudut yang lain, mendengarkanmu dari tempat yang terasa jauh dan tak terjangkau, selalu membuatku minder sendiri Mah. Apalagi dengan segala macam kebaikan-kebaikanmu. Ya Tuhan…

***

Mah, apakah kau yakin aku lelaki yang pas untuk anak-anakmu?

***

Segitu saja  catatan ini kutuiis untukmu. Aku tak mau panjang lebar, meski ada beberapa hal yang masih ingin aku bicarakan disini,tapi, ya kau tahu kan, kita harus menunggu. :)


Selamat beraktivitas, Mah
Selamat merencanakan hidupmu.
Selamat bekerja dalam agenda-agenda rumitmu.
Aku disini, setia menunggumu pulang.

Dari aku.





Papah.



NB
Jangan selalu merasa kau sendiri. Meski dalam beberapa hal kau harus menyelesaikan semuanya sendiri. Ingat kan, aku selalu punya rencana mengganti nama belakangmu dengan nama belakangku? Ya, kelak Mah. Ketika kita sudah yakin dan mantap. Percaya padaku; im yours. :)


Obrolan Intim Dengan Pak Yanto.



“Dari mana sebenarnya kepercayan itu ada? Dari langit? Dari pilihan itu sendiri? Atau dari pengalaman yang penuh kesakitan?”

Malam minggu. Tanggal 23 bulan sebelas pukul 19.00; begitu apa yang dikatakan ponsel yang baru saja kugeletakkan di atas tivi. Malam ini aku tidak kemana-mana. Malam ini aku tak ada janji. Malam ini aku hanya bernyanyi lirih-lirih di kos. Setengah jam kemudian aku berhenti bernyanyi. Setelah itu aku meminjam Notebook milik temanku. Aku menyalakannya, dan menunggu siap dipakai. Tivi masih menyala, pintuku masih terbuka setengah, dan gelas dihadapanku masih kosong sejak aku tinggalkan 10 jam yang lalu. Kemudian aku menulis ini. Sebuah catatan yang tidak benar-benar penting. Catatan ini tak kukhusukan untuk siapa pun. Tulisan ini kutulis bukan untuk dia, dia, dia, atau dia. Tulisan ini untuk diriku sendiri. Untuk keburukan yang menyeringai disenyumanku. Untuk kebahagiaan yang belum sempurna di otakku. Untuk beberapa bait pikiran yang minta di ungkap. Untuk keresahan-keresahan yang membelit gerakku. Selebihnya, catatan ini kutulis; untuk memuaskan rasa rinduku dalam mengetik!

Oh ya, sebentar-sebentar, aku baru ingat, aku belum membayar es tehku yang kupesan di Pak Yanto tadi. Tunggu sebentar, aku mau bayar dulu…

***

Malam minggu. Tanggal 23 bulan sebelas pukul 22.17; begitu apa yang dikatakan ponsel yang kali ini kugeletakkan di atas “tempat tidurku”. Aku sedang tidak merasa sepi. Aku sedang tidak merasa sakit. Aku tak merasa ditinggalkan. Aku tak merasa “anjing”. Bahkan aku juga tidak merasa hidupku tidak adil. Hidupku baik-baik saja. Aku dalam kondisi yang tak diragukan. Aku sehat. Dan itu baru saja kurasakan setelah aku berbincang di angkringan bersama Pak Yanto.

***

“Sepine…” kataku mengagetkan Pak Yanto yang sendu menatap langit.
“Iyo. Cah-cah podo muleh kabeh. Sepi!!” jawabnya sambil membenarkan duduknya.
“Kie Pak, es teh siji.” Aku memberinya uang sepuluh ribu.
Kemudian aku duduk di bangku yang tengah bermimpi. Menunggu Pak Yanto memilih-milih uang untuk kembalian. Aku melihat dagangan Pak Yanto yang masih sangat lengkap. Entah siapa yang menggerakan tanganku, aku mengambil sate usus dan sate ati. Lalu disusul tahu goreng.

“Kopi item pak.” Kataku. Sementara Pak Yanto masih sibuk memilih-milih uang.
“Pake susu, ndak?”
Aku diam sejenak. Lalu menganggukan kepala.
“Susu sing kiwo opo sing tengen?”
Hahahahaha.. kami tertawa.

3 menit kemudian, kopi susuku sudah jadi, dan aku menyulut Gudang Garam Profesional.
Pak Yanto kembali duduk setelah mengembalikan uang kembalian padaku.

Ya, malam ini terasa mistis. Dari ujung gang sampai ujung gang, tak ada orang sama sekali. Hanya aku dan Pak Yanto –juga telinga Tuhan. Untuk memecah sepi, aku iseng berkata pada Pak Yanto.

“Ketoke wis wani muleh Klaten kie.” Kataku setengah tertawa dan melirik kearah uang yang dihitung Pak Yanto.
Pak Yanto tak menjawab. Ia hanya tersenyum.
“Buka angkringan disini, udah berapa tahun pak?” sambungku.
“Lagi wae kok. 22 Desember ngko, pas telung tahun.”
“Hemmm..”  aku menganggukan kepala setelah asap rokok keluar dari mulutku.
“La sebelumnya kerja dimana pak?”
“Neng Semarang. 16 Tahun jaga angkringan juga.” Pak Yanto memasukan uang yang dihitungnya kedalam saku baju.
“Wahhhh.. suwi pak.”
“Iyo.”
“Penak nang endi Pak, Semarang po neng kene?”
“Neng kene nuw.” Jawab Pak Yanto sambil menyulut Surya 16. Kemudian ia mengangkat kaki kananya dan menatap wajahku. Aku tersenyum. Aku kira ia merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaanku. Aku diam –asap rokok keluar lagi dari mulutku.
“Neng Semarang jane rame, Res. Tapi yo ngono kuwi!!” katanya. Intonasinya sedikit meninggi.
“ Ngono kuwi piye, pak?”

Black Out…

***

Dua jam lebih Pak Yanto bercerita tentang segala hal yang sebenarnya bukan hakku untuk mendengarkannya. Mulai dari keluarga, pendapatan, hutang-piutang, bahkan sampai masalah-masalah pribadi. Jujur, mataku sempat berkaca-kaca di beberapa bagian cerita yang ia tuturkan. Aku merasa…. Ah, sudahlah. Ya, aku sadar apa yang kudengar dari Pak Yanto juga pernah kudengar di beberapa stasiun televisi. Bedanya, tak ada Host yang ikut-ikut menangis. Ada sebuah omongan Pak Yanto yang membuatku jadi memperlambat laju asap rokok yang keluar dari mulutku;

“Kepercayaan itu bukan tentang bagaimana kamu percaya sepenuh hati pada se(suatu)seorang. Menyerahkan segalanya kepada dia atau dia tentang hidupmu. Kepercayaan kadang harus diuji. Harus digoyang-goyangkan, supaya kamu bisa terus percaya bahwa kepercayaan itu ada; ada dan hidup dalam hatimu. Bukan sekedar kata-kata motivasi  yang sering dibilang pacarmu atau siapa pun yang sok tahu. Ingat, Tuhan menyukai orang-orang yang berfikir bukan?”

(Kata-kata di atas, tak persis diucapkan seperti itu. Tapi intinya seperti itu. Aku lupa, sebab panjang sekali dan memakai bahasa jawa. Aku hanya menyederhanakannya menjadi seperti itu.)

***

..aku jadi berfikir; iya, aku tahu. Aku tahu. Aku tahu Pak Yanto. :’)

 ***

Lalu dua wanita asing datang dari barat dan memesan es teh. Mereka terlihat bahagia dengan berbicara keras-keras. Disusul dengan tawa-tawa aneh. Aku hanya tersenyum terpaksa, dan Pak Yanto juga ikut tersenyum. Hidungku mencium bau parfum yang segar. Ya, aku tahu, ini malam minggu. Bla, bla, bla…

“Piro pak? Kopi siji, tahu goreng, karo satene loro?”
“Mangewu.”
Aku memberikan uang pas lima ribu kemudian kembali ke kamarku. Ke kosku. Ke hidupku. Ke anganku. Ke kenanganku. Kepadamu yang kini mungkin sudah tidur.











Jogja,
Oh ya, kau tidak childish kok. :)