Namanya Rahmat Munir. Seorang perantau yang sedang menaruh harapan
besar pada hiruk pikuknya ibu kota. Ia adalah teman yang bisa dibilang
sangat dekat denganku. Saat di Nganjuk dulu, sering kami berbicara
panjang lebar. Ya, meskipun yang kami bicarakan hanyalah omong kosong.
Dan tadi malam omong kosong itu pun hadir kembali.
Berawal dari niat untuk berburu perempuan abg di sekitaran kos. Kami yang masih lajang-lajang dan mempunyai bibir sensual ini, harus ikhlas menerima kenyataan bahwa; bibir sensual saja ternyata tak cukup untuk meluluhlantahkan hati perempuan abg jaman sekarang. Apalagi dengan keadaan kolor belum diganti! Tentu semakin mustahil merealisasikan tujuan mulia kami tersebut.
Akhirnya aku dan Munir duduk di pertigaan belakang sebuah SMA Negeri.
"Nir, beli rokok bege. Kaya orang ilang lu nongkrong gak ngerokok."
"Asu. Ra nduwe duit aku cok."
"Ah fak banget."
Akhirnya kami patungan. Dan sebungkus promild jadi saksi ke-omong kosangan kami.
"Nurul piye, Nir?"
"Wes putus aku!"
"Lah? Mang ngapa lu? Cerita donk."
Munir pun bercerita tentang mantannya yang memiliki rambut panjang nan hitam. Mengenai jalan terjal yang mereka taklukkan. Juga tentang hubungan yang dijalin dengan penuh cinta dan kasih. Cinta yang meremas-remas hati Rahmat Munir. Dalam kasus ini, Munirlah yang menjadi korban.
"Bar tak terne rebonding kae lho, cah e maleh koyo gasut."
"Oh. Lu masih cinta ma dia, Nir?"
Munir tak menjawab. Ia seperti berfikir. Dalam sorotan lampu kendaraan yang melintas di depan kami, terlihat mata Munir berkaca-kaca.
"Beh, ngenes aku saiki. Koyo kowe karo Dwie ae malehan."
"Haha, tai lu. Telpon Nurul aja Nir."
"Kowe tapi sing ngomong yo?"
Munir menelpon Nurul. Dan aku yang bicara. Nurul berlogat Surabaya. Sementara aku meyesuaikan. Setelah setengah jam berbincang(Munir hanya mendengarkan) akhirnya dapatlah dipastikan bahwa Nurul sudah tak cinta lagi. Diperkuat dengan pengakuan Nurul yang telah bertunangan dengan lelaki lain. Bumi gonjang ganjing. Langit kelap kelip. Semoga Munir tak bunuh diri. :D
Berawal dari niat untuk berburu perempuan abg di sekitaran kos. Kami yang masih lajang-lajang dan mempunyai bibir sensual ini, harus ikhlas menerima kenyataan bahwa; bibir sensual saja ternyata tak cukup untuk meluluhlantahkan hati perempuan abg jaman sekarang. Apalagi dengan keadaan kolor belum diganti! Tentu semakin mustahil merealisasikan tujuan mulia kami tersebut.
Akhirnya aku dan Munir duduk di pertigaan belakang sebuah SMA Negeri.
"Nir, beli rokok bege. Kaya orang ilang lu nongkrong gak ngerokok."
"Asu. Ra nduwe duit aku cok."
"Ah fak banget."
Akhirnya kami patungan. Dan sebungkus promild jadi saksi ke-omong kosangan kami.
"Nurul piye, Nir?"
"Wes putus aku!"
"Lah? Mang ngapa lu? Cerita donk."
Munir pun bercerita tentang mantannya yang memiliki rambut panjang nan hitam. Mengenai jalan terjal yang mereka taklukkan. Juga tentang hubungan yang dijalin dengan penuh cinta dan kasih. Cinta yang meremas-remas hati Rahmat Munir. Dalam kasus ini, Munirlah yang menjadi korban.
"Bar tak terne rebonding kae lho, cah e maleh koyo gasut."
"Oh. Lu masih cinta ma dia, Nir?"
Munir tak menjawab. Ia seperti berfikir. Dalam sorotan lampu kendaraan yang melintas di depan kami, terlihat mata Munir berkaca-kaca.
"Beh, ngenes aku saiki. Koyo kowe karo Dwie ae malehan."
"Haha, tai lu. Telpon Nurul aja Nir."
"Kowe tapi sing ngomong yo?"
Munir menelpon Nurul. Dan aku yang bicara. Nurul berlogat Surabaya. Sementara aku meyesuaikan. Setelah setengah jam berbincang(Munir hanya mendengarkan) akhirnya dapatlah dipastikan bahwa Nurul sudah tak cinta lagi. Diperkuat dengan pengakuan Nurul yang telah bertunangan dengan lelaki lain. Bumi gonjang ganjing. Langit kelap kelip. Semoga Munir tak bunuh diri. :D