Pages

Monday, June 11

3 hal

Sebenarnya tulisan ini sudah teredap sangat lama di document pribadi ku. Dan tadinya aku tak ingin mempublish dan membagikannya ke beberapa orang.
Tapi....
Ah entahlah. Seperti ada sesuatu yang terus mendorongku untuk mempublish tulisan ini. Entah karena apa.
Yang jelas, tulisan ini memang untuk dirimu.



***


"Tak pernah ada sesuatu yang bisa menghentikan reaksi ku terhadap perjalananmu..."


Kau mawar. :)

Kita pernah menikmati serbuan tangkai mawar yang jatuh tepat di kepala kita.
Menikmati keindahannya melalui sejuk udara yang masuk ke paru-paru. Kau dengan aku.
Bahkan saat kita pertama pergi mengulur waktu, aku memberikan seikat mawar untuk mu.
Mawar. Tentu saja mawar merah. :)
Aku mengumpulkan mawar di sepanjang perjalanan kita menuju tempat di ujung kota kita. Kemudian aku memegang tangan mu. Menghentikan langkah mu. Aku bilang..
"Maukah kau menjadi istri ku?"
Kau memukul kepala ku.
Aku mencium mu.:)


Kau hujan. :)

Memahami hujan yang entah dihari keberapa turun menjamu langkah kecil kita. Aku tertawa, kau tersenyum.
Saat itu umur kita masih belasan. Polos dan tak tahu kenapa kita dipertemukan. Kau pernah menyebutnya sebagai takdir, tapi aku menyangkalnya. Aku lebih percaya kita bertemu karena Tuhan punya maksud tertentu. Aku ada karena kau ada.
Hujan..
Pernah membuat ku merasa kisah kita seperti roman picisan di televisi.
Ketika itu kau marah karena aku ketahuan bermesraan dengan wanita lain lewat sms, kau berlari meninggalkan ku, aku mengejar mu. Sebelum sempat aku menangkap mu, hujan turun perlahan. Akhirnya aku memegang bahu mu, membalikan tubuh mu. Kau menangis!
Aku berkata..
"Maafin aku, dia itu temen baik ku."
Kau membalas dengan parau suara mu..
"Lepasin! Aku udah gak percaya lagi sama kamu!"
Aku mencoba memeluk mu. Tapi kau menghindar dan hilang bersama kabut hujan siang itu.
Hujan, menyimpan raut mu, lalu membentuk siluet. :)


Kau puisi. :)

Kau memang puisi. Puisi bagi hidup ku, puisi bagi semua yang ada padaku.
Aku jadi mencintai puisi karena kau. Kau membuatku lebih sering menghabiskan waktu hanya untuk menulis. Tentu saja menulis tentang dirimu.
Dulu aku lebih suka menghabiskankan waktu ku untuk berlari mengejar bola di lapangan.
Karena jujur, dahulu cita-cita ku adalah menjadi seorang pemain sepak bola internasional. Tapi karena kau, aku jadi lebih sedikit meninggalkan dunia itu. Dan beralih menyukai dunia kepenulisan.
Iya, aku jadi suka menulis setelah kita berjauh-jauhan. :) dan ku anggap ini sebuah berkah yang tak bisa ku sangkal.


Kau segalanya. :)

................. (?)















Jogja,
N B :
Aku jadi lebih sering mengamati foto profil mu. Dan itu sangat memuaskan ku. :D
Bibir mu, ah... boleh ku iris?

Bila keadaanya tak seperti ini, aku pasti sudah mencintaimu melebihi aku mencintai puisi. :D

Ia datang dengan beberapa butir kasih yang tak sempat diuraikan.
Dengan senyum 5 jari yang mematahkan rasa kantuk ku.
Aku sempat kaget, tapi rasa kaget ku tak sehebat rasa bahagia ku karena ia benar-benar menepati janji untuk datang ke tempat menyeramkan ini.
Meski aku dibuatnya lemas dengan serbuan perhatian yang luar biasa. :D

Sungguh, ia benar-benar baik.
Kelewatan baik malah. Aku berharap kebaikannya itu bisa menular padaku.
Dan sepertinya ia sosok yang mampu mengikat kenakalan ku. Kenakalan ku dalam hal apapun.
Sebab, kata ibu dan ayah ku, aku adalah manusia paling nakal di bumi ini. Jadi ku harap ia benar-benar bisa mengikat kenakalan ku yang tak wajar ini. :)

Sekarang ia sudah pulang.
Tentu saja pulang kerumahnya. Tadi aku sempat mengancamnya, bila ia tak langsung pulang kerumah, ia akan kutusuk dengan peniti. Sebab aku tidak begitu suka dengan wanita yang doyan keluyuran tanpa mengenal batas. Dan ia memahami ku.
Ia berkata demikian :

"Iya deh aku janji, aku bakalan langsung pulang. Gak maen-maen lagi. Janji."

Dan sekali lagi ini yang membuat ku semakin menaruh harapan besar padanya. Ia mendengarkan ku, mematuhi ku, menghargai kemauan ku.
Ah, wanita ini benar-benar calon istri yang baik bagi suami yang buruk. :D

Ia sempat jatuh terluka, menangis, meratap(meski tak ia tunjukan)
Tapi kemudian ia bangkit. Bangkit seolah-olah hanya mengalami kegagalan yang sepele.
Itu terbukti dengan aku yang bisa melihatnya tersenyum sepanjang tadi. Terkadang ia tertawa kecil, dilanjutkan dengan batuk buatan untuk menyadarkan ku bahwa ia sedang tercueki. :D
Aku pun ikut tertawa dibuatnya.

Hey, kau lucu!
Bila keadaanya tak seperti ini, aku pasti sudah mencintaimu melebihi aku mencintai puisi. :D


Dan sekarang semuanya kembali sepi.
Iya, ini benar-benar sepi!
Hanya aku yang merasa lelah bukan kepalang. Ngantuk, lapar. Untung saja tadi ia meninggalkan ku dengan sekantog kripik singkong dan (aku tak tau namaya makanan itu).
Jadi aku bisa sedikit meredamkan rasa yang sangat menyiksa ini.





















Jogja,

Wanita itu menangis.

Wanita itu sedang duduk meringkuk. Melamun. Di deretan pertama anak tangga beton yang menghubungkan sebuah gang sempit. Entah ia melamunkan soal apa dan tentang siapa. Mungkin pacarnya yang sedang marah, atau mantannya yang tak juga kembali, atau tentang keluarga yang ditinggalkan demi memenuhi tunjangan finansialnya, atau bahkan tentang masalah politik di negeri ini?
Yang jelas wanita itu selalu duduk meringkuk di jam segini. Dengan muka bersedih.

Terkadang, saya ingin sekali menyapanya. Ya hanya sebatas menyapa saja, tak lebih.
"Hai mbak," "Ngalamun aja," "Lagi ngapain mbak?" atau "boleh saya duduk disebelah embak?"
Tapi saya rasa pertanyaan itu terlalu konyol untuk diri saya sendiri(bahkan untuk wanita itu)
Jadi, ketika saya lewat di depannya, saya hanya diam. Walau saya tau, ia melirik ke arah saya. Wanita itu benar-benar berparas polos. Baik, pun ramah(meski terlihat seperti anak ABG)
Ah iya, apa mungkin ia memang anak baru gede? Jadi gelagatnya labil seperti itu? Tapi dari solekannya ia tak mengindikasikan bahwa ia ABG. Apa jangan-jangan saya yang terkecoh oleh penampilannya? Sebab saya Gampang sekali terkecoh oleh wanita di sekeliling saya, dan gilanya, saya tak pernah merasa bahwa saya terkecoh.(ah fak!)

Baiklah. Kita kembali pada wanita itu.
Sekarang ia sedang memegang sebuah handphone klasik. Mungkin ia jenuh, jenuh dengan hidup ini, jenuh menunggu sesuatu yang tak pantas untuk ditunggu. Jadi ia iseng meyetel lagu-lagu. Kemudian saya medengarkan dengan mendalam. Ternyata yang ia putar adalah lagu-lagu kesedihan, lagu tentang kenangan, kenangan yang membangkitkan sesuatu dalam hati wanita itu.
Dan tak lama kemudian, ia pun menangis. Air matanya menitik. Jatuh.
Hujan pun turun..


















Jogja,

Percayalah kekasihku.

"Selamat saling menunggu kebahagian. Kekasih ku."





Ada pantai. Ada angin. Ada ombak. Ada bulan lengkap dengan bintangnya. Ada pasir hitam yang sebenarnya berwarna putih. Ada orang bermain dengan waktu. Ada derap langkah yang diciptakan oleh kelembutan. Ada warna(tentu saja abu-abu). Ada permen. Ada air mineral. Ada rayuan. Ada sesuatu...
Ada tawa kecil memecah langit purnama. Ada diam...
Ada kau dan aku. Dan tentu saja, ada sejuta mimpi yang siap di lebur jadi satu. :)


"Apakah kita bisa berjalan selamanya? Sedangkan keadaan sangat tak memungkinkan untuk sekedar berpegangan tangan."

"Entahlah, ini cuma masalah waktu kekasih ku. Kita tunggu saja. Semoga waktu mau berbaik hati pada kita."

"Terkadang waktu itu jahat."

"Tapi aku mencintai mu."

"Aku pun begitu. Apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Mencium mu."

"Cepat lakukan !"



Dear:
Seseorang yang terus akan selalu ku sayang.
Semoga ini tak berjalan sementara, seperti liar mu yang selalu sementara.
Mungkin ini akan terasa berat untuk mu(juga bagiku)
Tapi aku percaya, bahwa keteguhan hati, sangat menjanjikan kebahagian.
Kita harus kuat, berpasrah pada waktu. Kita akan bahagia kekasih ku. Dan bersabarlah, karena tak selamanya badai itu terus menghantam kita.
Sesegera mungkin kita pasti bebas. Kita akan mengukir sejarah lewat waktu yang angkuh itu. Kita akan merajut kain untuk anak-anak yang terlahir dari buah cinta kita. Kita akan tertawakan dunia. Kita akan melukis senja pada dahan pohon tua didepan rumah kita. Kita akan menamai segala macam yang ada dikamar kita kelak. Kita akan menulis buku bersama, hanya kau dan aku(ditemani tangisan kecil anak-anak kita)
Kita sombongkan keromansaan kita pada hujan, pada langit, pada pelangi, pada gerimis di malam yang ritmis, juga pada mereka yang tak mau mengerti kita.
Iya kekasih ku, pada akhirnya kita yang akan menang.


Percayalah...
Kekasih ku.














Jogja,