"Aku masih sering tidak percaya, betapa seorang wanita yang indah,
cantik, sopan, halus, dan lembut tutur sapanya, ternyata bisa tidak
setia. Kadang aku merasa hatiku sakit, tapi tidak untuk diriku sendiri,
melainkan untuk suaminya."
Di pos ronda aku duduk menghilangkan keringat, sambil melihat senja. Melihat orang-orang pulang pergi. Melihat anak-anak kecil. Melihat langit yang begitu muram. Melihat Nisa di jemput ayahnya. Melihat tukang gorengan menjual tahu ke ibu-ibu. Melihat Mamanya Andre menyapu halaman. Dan melihat kakiku yang di banjiri darah segar bekas tadi main bola. Tiba-tiba dari balik pohon bambu kulihat ia berciuman dengan seorang, yang pasti baru saja dikenalnya, di sebuah sudut. Tapi aku tidak melihatnya lagi.
Sambil minum segelas air dingin, aku bersandar. Merasakan angin, dan memandang senja berubah menjadi malam. Langit senja yang merah, mengingatkan aku kepada segala hal yang pantas dikenang. Ku dengar samar-samar adzan membelah angkasa. Suara serangga kian redup. Ah, ah, ah. Sekarang aku teringat kampung halaman! Nganjuk! Kenapa kita selalu ingin pergi, dan setelah pergi selalu ingin kembali? Apakah hidup seperti pohon bambu itu, sebentar tenang dan sebentar ribut?
Tahu-tahu ia mendatangiku. Bibirnya basah. Bajunya berantakan, begitu pun rambutnya. Lalu ia berkata..
"Kenapa mesti percaya kalau cinta itu ada?"
Anjing! Tidakkah aku juga ingin mengatakannya?
"Kenapa tidak? Apakah kamu tidak percaya cinta itu ada?"
Matanya memandang jauh.
"Suamimu. Dia masih suka menghubungimu?"
"Yeah."
"Masih mengucapkan cinta?"
"Yeah."
Kupandang matanya dalam-dalam. Seberapa jauhkah seorang wanita bisa jujur?
Kemudian handphonenya berbunyi. Kudengar ia ber-ya-ya-ya. Yeah. Setiap orang punya urusan. Aku juga mempunyai banyak urusan. Memangnya kenapa? Aku beranjak mau pergi. Tapi, ia menekan pundakku supaya tetap duduk. Ia ngomong bahasa inggris. Wesewes, wesewes.. Kelihatanya bergaya. Aku mau berdiri lagi. Tapi ditekannya lagi sembari matanya berkedip-kedip. Ah fuck! Ia menguasaiku!
Cikande,
Di pos ronda aku duduk menghilangkan keringat, sambil melihat senja. Melihat orang-orang pulang pergi. Melihat anak-anak kecil. Melihat langit yang begitu muram. Melihat Nisa di jemput ayahnya. Melihat tukang gorengan menjual tahu ke ibu-ibu. Melihat Mamanya Andre menyapu halaman. Dan melihat kakiku yang di banjiri darah segar bekas tadi main bola. Tiba-tiba dari balik pohon bambu kulihat ia berciuman dengan seorang, yang pasti baru saja dikenalnya, di sebuah sudut. Tapi aku tidak melihatnya lagi.
Sambil minum segelas air dingin, aku bersandar. Merasakan angin, dan memandang senja berubah menjadi malam. Langit senja yang merah, mengingatkan aku kepada segala hal yang pantas dikenang. Ku dengar samar-samar adzan membelah angkasa. Suara serangga kian redup. Ah, ah, ah. Sekarang aku teringat kampung halaman! Nganjuk! Kenapa kita selalu ingin pergi, dan setelah pergi selalu ingin kembali? Apakah hidup seperti pohon bambu itu, sebentar tenang dan sebentar ribut?
Tahu-tahu ia mendatangiku. Bibirnya basah. Bajunya berantakan, begitu pun rambutnya. Lalu ia berkata..
"Kenapa mesti percaya kalau cinta itu ada?"
Anjing! Tidakkah aku juga ingin mengatakannya?
"Kenapa tidak? Apakah kamu tidak percaya cinta itu ada?"
Matanya memandang jauh.
"Suamimu. Dia masih suka menghubungimu?"
"Yeah."
"Masih mengucapkan cinta?"
"Yeah."
Kupandang matanya dalam-dalam. Seberapa jauhkah seorang wanita bisa jujur?
Kemudian handphonenya berbunyi. Kudengar ia ber-ya-ya-ya. Yeah. Setiap orang punya urusan. Aku juga mempunyai banyak urusan. Memangnya kenapa? Aku beranjak mau pergi. Tapi, ia menekan pundakku supaya tetap duduk. Ia ngomong bahasa inggris. Wesewes, wesewes.. Kelihatanya bergaya. Aku mau berdiri lagi. Tapi ditekannya lagi sembari matanya berkedip-kedip. Ah fuck! Ia menguasaiku!
Cikande,