Aku menulis ini setelah aku selesai membaca sebuah
buku. Dan ini di warnet.
“Kau dan aku tak pernah bisa didefinisikan. Dan meskipun kita
takkan pernah menjadi nyata, tapi aku tahu perasaan ini lebih dari nyata.” – Fiersa Besari.
Entah harus kumulai dari mana. Aku bingung harus
berkata apa disini. Aku mau merancau panjang tentang hari-hari selepas kejadian
menyesakan itu menimpaku. Ya, sepertinya aku ingin berkeluh kesah di tulisan ini.
Bagaimana aku yang sejatinya tidak suka dengan sebuah kehilangan, terpaksa
harus merasakan itu lagi. Lagi!
Ah tapi sebentar, kurasa aku tak mau menuliskannya sekarang. Sebab aku tahu ini bulan Ramadhan. Bulan suci yang akan jadi hal bodoh jika aku harus
berkeluh kesah terus menerus–meskipun itu harus. Aduh.
Begini, aku akan
menuliskan sesuatu tentang seseorang saja. Dia yang tak pernah kalah oleh
waktu, dia yang bisa bangkit dan mengajak orang di sekelilingnya bangkit. Ya,
dia seorang yang akhir-akhir ini semakin dekat denganku. Dia adalah.. kita
sebuat saja namanya Melati. Tadinya aku mau membuatkannya puisi, atau beberapa
baris sajak yang kutahu sangat ia sukai. Namun, ah, tentu saja ia lebih
berarti dari itu. Tentangnya yang setiap saat datang dan membuatku
bertanya-tanya; “Ya Tuhan, apakah ini wanita yang ada di iklan parfum itu?”
Bebertapa hari yang lalu, atau lebih tepatnya tiga
minggu yang lalu, saat aku begitu butuh pegangan dan butuh penawar racun dari sakitnya kehilangan. (kehilangan
disini bukan kehilangan wanita, cinta atau apapun itu yang berkaitan dengan hormon dopamine). Aku kehilangan sesuatu yang benar-benar menyesakan! Sesak!
Ia datang mengulurkan tangan padaku saat aku
mengumpulkan air mata di pojokan sepi. Ia memberiku senyum, tawa, dan
setidaknya setitik kebahagiaan. Ia seperti Bunda Maria jika aku melebihkannya.
Hehe..
“Aku nggak suka liat kamu sedih.” Begitu katanya
setelah aku selesai menyusun air mataku kembali.
Lalu aku tersenyum...
Dan sekarang saat aku menuliskan ini, aku pun
tersenyum. Entah kenapa dari zaman aku memakai kaos kaki bolong , sampai
sekarang aku memakai kaos kaki yang tidak bolong, ia selalu hadir ketika aku
kesusahan. Begitu banyak pertolongan-pertolongan yang ia berikan secara ikhlas
dan cuma-cuma. Ah, makannya aku bingung harus melakukan apa untuk sekedar membuatnya
merasa bahwa aku disini; untukmu.
Singkat cerita, puasa ramadhan jatuh di hari kedua;
aku sakit. Ah, sungguh aku menyesalinya. Aku jadi tidak bisa puasa.Ia kembali
datang, kali ini ia tidak sekedar membawa senyum, tawa, atau setitik
kebahagiaan. Lebih dari itu, ia membawaku kembali untuk sembuh –meskipun disini
Allah ikut ambil peran. Ya, ketika aku sakit aku tidak berani untuk makan atau
minum walau secuil dan setetes. Sebab entah kenapa aku akan langsung muntah. Dan
untuk mensiasati itu, aku harus makan buiah pir dan minuman soda atau isotonik
tepat di tengah malam. Aneh ya? Aku juga heran. Saat aku membutuhkan
pertolongan, ia datang. Ia membawakanku hal-hal yang kubutuhkan ketika aku
sakit. Apa saja? Ah, itu rahasiaku dan ia dan Dia. :)
Dan kau tahu hal yang paling istimewanya; ia
merawatku! Ya Tuhan, ia benar-benar seorang penyelamat.
Aku pun membaik dan akhirnya sembuh. Sungguh aku
sangat berterima kasih pada wanita bernama Melati itu. Sungguh-sungguh
berterima kasih.
Namun, ada satu permintaanku yang harus kau
patuhi, jika kau membaca ini.
Tolong jangan pernah menanyakan bagaimana bentuk
perasaanku pada mereka yang kau kira dekat denganku. Karena kupastikan kau tak
akan butuh itu, apalagi aku. Bagaimana? Sanggup?
Tetaplah jadi dirimu. Tetaplah jadi dirimu. Tetaplah
jadi dirimu. Karena aku suka itu. Tetaplah berkerudung meski aku tak suka
wanita berkerudung. Karena aku menyukai apapun saja di kamu. :)
Jogja,