Pages

Monday, February 3

Obrolan Intim Dengan Pak Yanto.



“Dari mana sebenarnya kepercayan itu ada? Dari langit? Dari pilihan itu sendiri? Atau dari pengalaman yang penuh kesakitan?”

Malam minggu. Tanggal 23 bulan sebelas pukul 19.00; begitu apa yang dikatakan ponsel yang baru saja kugeletakkan di atas tivi. Malam ini aku tidak kemana-mana. Malam ini aku tak ada janji. Malam ini aku hanya bernyanyi lirih-lirih di kos. Setengah jam kemudian aku berhenti bernyanyi. Setelah itu aku meminjam Notebook milik temanku. Aku menyalakannya, dan menunggu siap dipakai. Tivi masih menyala, pintuku masih terbuka setengah, dan gelas dihadapanku masih kosong sejak aku tinggalkan 10 jam yang lalu. Kemudian aku menulis ini. Sebuah catatan yang tidak benar-benar penting. Catatan ini tak kukhusukan untuk siapa pun. Tulisan ini kutulis bukan untuk dia, dia, dia, atau dia. Tulisan ini untuk diriku sendiri. Untuk keburukan yang menyeringai disenyumanku. Untuk kebahagiaan yang belum sempurna di otakku. Untuk beberapa bait pikiran yang minta di ungkap. Untuk keresahan-keresahan yang membelit gerakku. Selebihnya, catatan ini kutulis; untuk memuaskan rasa rinduku dalam mengetik!

Oh ya, sebentar-sebentar, aku baru ingat, aku belum membayar es tehku yang kupesan di Pak Yanto tadi. Tunggu sebentar, aku mau bayar dulu…

***

Malam minggu. Tanggal 23 bulan sebelas pukul 22.17; begitu apa yang dikatakan ponsel yang kali ini kugeletakkan di atas “tempat tidurku”. Aku sedang tidak merasa sepi. Aku sedang tidak merasa sakit. Aku tak merasa ditinggalkan. Aku tak merasa “anjing”. Bahkan aku juga tidak merasa hidupku tidak adil. Hidupku baik-baik saja. Aku dalam kondisi yang tak diragukan. Aku sehat. Dan itu baru saja kurasakan setelah aku berbincang di angkringan bersama Pak Yanto.

***

“Sepine…” kataku mengagetkan Pak Yanto yang sendu menatap langit.
“Iyo. Cah-cah podo muleh kabeh. Sepi!!” jawabnya sambil membenarkan duduknya.
“Kie Pak, es teh siji.” Aku memberinya uang sepuluh ribu.
Kemudian aku duduk di bangku yang tengah bermimpi. Menunggu Pak Yanto memilih-milih uang untuk kembalian. Aku melihat dagangan Pak Yanto yang masih sangat lengkap. Entah siapa yang menggerakan tanganku, aku mengambil sate usus dan sate ati. Lalu disusul tahu goreng.

“Kopi item pak.” Kataku. Sementara Pak Yanto masih sibuk memilih-milih uang.
“Pake susu, ndak?”
Aku diam sejenak. Lalu menganggukan kepala.
“Susu sing kiwo opo sing tengen?”
Hahahahaha.. kami tertawa.

3 menit kemudian, kopi susuku sudah jadi, dan aku menyulut Gudang Garam Profesional.
Pak Yanto kembali duduk setelah mengembalikan uang kembalian padaku.

Ya, malam ini terasa mistis. Dari ujung gang sampai ujung gang, tak ada orang sama sekali. Hanya aku dan Pak Yanto –juga telinga Tuhan. Untuk memecah sepi, aku iseng berkata pada Pak Yanto.

“Ketoke wis wani muleh Klaten kie.” Kataku setengah tertawa dan melirik kearah uang yang dihitung Pak Yanto.
Pak Yanto tak menjawab. Ia hanya tersenyum.
“Buka angkringan disini, udah berapa tahun pak?” sambungku.
“Lagi wae kok. 22 Desember ngko, pas telung tahun.”
“Hemmm..”  aku menganggukan kepala setelah asap rokok keluar dari mulutku.
“La sebelumnya kerja dimana pak?”
“Neng Semarang. 16 Tahun jaga angkringan juga.” Pak Yanto memasukan uang yang dihitungnya kedalam saku baju.
“Wahhhh.. suwi pak.”
“Iyo.”
“Penak nang endi Pak, Semarang po neng kene?”
“Neng kene nuw.” Jawab Pak Yanto sambil menyulut Surya 16. Kemudian ia mengangkat kaki kananya dan menatap wajahku. Aku tersenyum. Aku kira ia merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaanku. Aku diam –asap rokok keluar lagi dari mulutku.
“Neng Semarang jane rame, Res. Tapi yo ngono kuwi!!” katanya. Intonasinya sedikit meninggi.
“ Ngono kuwi piye, pak?”

Black Out…

***

Dua jam lebih Pak Yanto bercerita tentang segala hal yang sebenarnya bukan hakku untuk mendengarkannya. Mulai dari keluarga, pendapatan, hutang-piutang, bahkan sampai masalah-masalah pribadi. Jujur, mataku sempat berkaca-kaca di beberapa bagian cerita yang ia tuturkan. Aku merasa…. Ah, sudahlah. Ya, aku sadar apa yang kudengar dari Pak Yanto juga pernah kudengar di beberapa stasiun televisi. Bedanya, tak ada Host yang ikut-ikut menangis. Ada sebuah omongan Pak Yanto yang membuatku jadi memperlambat laju asap rokok yang keluar dari mulutku;

“Kepercayaan itu bukan tentang bagaimana kamu percaya sepenuh hati pada se(suatu)seorang. Menyerahkan segalanya kepada dia atau dia tentang hidupmu. Kepercayaan kadang harus diuji. Harus digoyang-goyangkan, supaya kamu bisa terus percaya bahwa kepercayaan itu ada; ada dan hidup dalam hatimu. Bukan sekedar kata-kata motivasi  yang sering dibilang pacarmu atau siapa pun yang sok tahu. Ingat, Tuhan menyukai orang-orang yang berfikir bukan?”

(Kata-kata di atas, tak persis diucapkan seperti itu. Tapi intinya seperti itu. Aku lupa, sebab panjang sekali dan memakai bahasa jawa. Aku hanya menyederhanakannya menjadi seperti itu.)

***

..aku jadi berfikir; iya, aku tahu. Aku tahu. Aku tahu Pak Yanto. :’)

 ***

Lalu dua wanita asing datang dari barat dan memesan es teh. Mereka terlihat bahagia dengan berbicara keras-keras. Disusul dengan tawa-tawa aneh. Aku hanya tersenyum terpaksa, dan Pak Yanto juga ikut tersenyum. Hidungku mencium bau parfum yang segar. Ya, aku tahu, ini malam minggu. Bla, bla, bla…

“Piro pak? Kopi siji, tahu goreng, karo satene loro?”
“Mangewu.”
Aku memberikan uang pas lima ribu kemudian kembali ke kamarku. Ke kosku. Ke hidupku. Ke anganku. Ke kenanganku. Kepadamu yang kini mungkin sudah tidur.











Jogja,
Oh ya, kau tidak childish kok. :)

0 comments:

Post a Comment