Wanita itu sedang duduk meringkuk. Melamun. Di deretan pertama anak
tangga beton yang menghubungkan sebuah gang sempit. Entah ia melamunkan
soal apa dan tentang siapa. Mungkin pacarnya yang sedang marah, atau
mantannya yang tak juga kembali, atau tentang keluarga yang ditinggalkan
demi memenuhi tunjangan finansialnya, atau bahkan tentang masalah
politik di negeri ini?
Yang jelas wanita itu selalu duduk meringkuk di jam segini. Dengan muka bersedih.
Terkadang, saya ingin sekali menyapanya. Ya hanya sebatas menyapa saja, tak lebih.
"Hai mbak," "Ngalamun aja," "Lagi ngapain mbak?" atau "boleh saya duduk disebelah embak?"
Tapi saya rasa pertanyaan itu terlalu konyol untuk diri saya sendiri(bahkan untuk wanita itu)
Jadi,
ketika saya lewat di depannya, saya hanya diam. Walau saya tau, ia
melirik ke arah saya. Wanita itu benar-benar berparas polos. Baik, pun
ramah(meski terlihat seperti anak ABG)
Ah iya, apa mungkin ia memang
anak baru gede? Jadi gelagatnya labil seperti itu? Tapi dari solekannya
ia tak mengindikasikan bahwa ia ABG. Apa jangan-jangan saya yang
terkecoh oleh penampilannya? Sebab saya Gampang sekali terkecoh oleh
wanita di sekeliling saya, dan gilanya, saya tak pernah merasa bahwa
saya terkecoh.(ah fak!)
Baiklah. Kita kembali pada wanita itu.
Sekarang
ia sedang memegang sebuah handphone klasik. Mungkin ia jenuh, jenuh
dengan hidup ini, jenuh menunggu sesuatu yang tak pantas untuk ditunggu.
Jadi ia iseng meyetel lagu-lagu. Kemudian saya medengarkan dengan
mendalam. Ternyata yang ia putar adalah lagu-lagu kesedihan, lagu
tentang kenangan, kenangan yang membangkitkan sesuatu dalam hati wanita
itu.
Dan tak lama kemudian, ia pun menangis. Air matanya menitik. Jatuh.
Hujan pun turun..
Jogja,
Monday, June 11
Wanita itu menangis.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment