Terhitung sudah tiga hari kamu jauh dariku. Kamu pergi meski
pergimu tak selamanya. Kamu pergi ke tempat lahirmu. Ke tempat dimana tersimpan
kehangatan yang jauh dari kata membosankan. Bertemu dengan ayah dan ibumu,
bertemu dengan adik dan teman-temanmu, bertemu dengan (mungkin) mantanmu. Rumah;
Nganjuk. Tempat yang juga aku sukai setelah hampir lima tahun aku disana.
Bersekolah, bermain, berpetualang, “berperang”, bergelut, berkhayal, ber, ber,
ber… (Meski pada sejatinya rumahmu dan rumahku agak berjauhan. Aku di pucuk
gunung dekat sawah-sawah, sedangkan kamu di pucuk kota dekat jalan raya. Namun aku
merasa kita berasal dari embrio yang sama) Jujur saat aku menulis ini, aku jadi
rindu dengan kota itu, rindu pada angin utaranya, rindu pada sejuk udaranya,
rindu pada nasi pecel kebanggannya, rindu pada ramah penghuninya, dan rindu
pada bunyi hujan di awal bulan Oktober-nya. Tapi jujur, sekali lagi, jujur,
semuanya itu tak serindu aku sekarang meridukanmu!
Ya, terhitung sudah tiga hari kamu tak bisa kutemui. Itu berarti
sudah tujuh puluh dua jam kamu tak bisa kusentuh, semuanya nampak begitu
berubah! Semuanya kelihatan nggak
beres! Waktu yang biasanya berjalan cepat, kini begitu melambat. Aku seperti
menua! Beruban dan berjenggot. Sementara aku menikmati tua-ku, aku membuang-buang
waktu dengan merokok di dalam kamar; sambil membayangkanmu, tentu saja.
Di jogja saat ini, hujan dari tadi begitu bimbang. Kadang
datang, kadang pulang. Kadang deras, kadang ritmis. Suasana jadi galau. Apalagi
kamu, membatalkan untuk pulang segera.
Ya Tuhan, aku ingin menyusulmu saja! Tapi kamu bilang kamu pulang tengah
malam nanti. Itu berarti aku harus menunggumu lagi; menua lagi. Ya.
Cepatlah pulang pacarku, sebab aku tak
mau menua sendirian..
Jogja,
0 comments:
Post a Comment