..begitulah,
bagai sebuah gerimis, datang dengan tiba-tiba, pun pulang dengan
tiba-tiba. Tanpa rencana, tanpa duga. Dengan sebuah kenangan yang lusuh,
yang terlipat dalam sebuah hati yang menjerit. Perih..
Hanif,
seorang teman yang sadar betul, bahwa hidup ini begitu tak terencana.
Begitu rahasia. Seperti gerimis. Ya, gerimis. Ritmis.
Malam
ini tak seperti biasanya, begitu banyak yang ia bagi denganku, banyak
yang ia ceritakan padaku melebihi hal-hal sepele yang tak penting.
Tentang sebuah kisah nano-nano dengan para wanita-wanita yang datang dan
pergi di hati. Ia menangis, ah salah, maksudku ia menjerit! Kehilangan
begitu menyiksa, Ia seperti ingin meneriakan sesuatu. Sesuatu yang
sering di sebut-sebut orang sebagai; cinta sejati.
"Gw jomblo dah lima tahun, Res." Katanya singkat.
Aku
tak merespon. Aku diam. Meski aku tahu ia butuh respon, tapi, apakah
ini saat yang tepat untuk melawak? Tidak, kurasa tidak. Aku menunggu
kata-kata selanjutnya. Kurasa ia serius. Ia ingin berkisah..
"Nggak
ada yang bisa kaya dia, Res. Dia itu kaya maliakat, bidadari yang
diturunin Tuhan buat ngerubah jalan pikiran gw. Gw jadi kaya gini
gara-gara dia. Gw dulu tu masih kaya bocah, Res. Sering ngacao kalo sama
cewe. Emank sich, gw nggak berubah jadi orang yang bener-bener baik,
tapi seenggaknya dia buat gw jadi sadar kalo kebaikan itu emank penting
di dunia yang makin kaya anjing ini. Dan itu nyata! Gw bener-bener
bersyukur kenal sama dia. Dia malaikat. Bidadari. Penyelamat!"
Sejenak
ku hisap Surya. Kubuang asapnya dengan satu kali desahan. Ah, lagi-lagi
kenangan. Dadaku bergetar, entah karena apa. Tanganku juga bergetar,
juga entah karena apa. Lalu aku bicara..
“Lima tahun bukan
waktu yang dikit buat ngelupain seseorang, Nif. Gw tahu yang lu rasain,
tapi gw nggak tau cara yang tepat buat ngubur masa lalu. Kadang masa
lalu itu emank kaya anjing. Berengsek! Bikin kita nyesek. Bikin pening!”
Ia
tak menjawab. Ia hisap Surya yang tinggal setengah lalu membuang
asapnya dengan penuh penghayatan. Di titik ini aku tahu, bahwa ia lagi
menyusun kenangan-kenangannya. Ia ingin bercerita lebih jauh, tapi ku
tahu pasti tak akan lebih dalam. Maka aku bertanya:
“Apa kabarnya sekarang, Nif?”
“Terakhir gw ketemu dia di lampu merah, Res. Dia masih cantik. Masih kaya bidadari. Dan itu ngga terbantah! Masih sempurna..”
“Kok nggak lu cegat?”
“Kagak
lah, Res. Gw udah ikhlas ngelepas dia. Lagian dia udah dapet yang
terbaik sebagai seorang wanita. Dia punya suami yang gw tau pasti sayang
banget ma dia. Dia punya anak yang gw tau pasti bakal secantik dia
nantinya. Dia punya keluarga yang bahagia. Ya, dia bahagia, Res. Dengan
keluarganya..”
“Dah berapa lama lu jalan ma dia?”
“Sembilan bulan.”
“Mantan terlama?”
“Yes! Juga yang terbaik.”
Keadaan
hening. Rokonya habis, dan aku belum. Terdengar sayup-sayup suara mp3
dari sebuah tempat yang jauh. Lampu masih benderang menerangi malam yang
semakin naik. Kulirik ia sekilas. Ia nampak begitu lelah. Seperti
kehilangan semangat yang biasa kulihat darinya. Ia jatuh(lagi) ke tempat
itu. Ia merindukan masa-masa itu. Masa-masa terbaik dalam hidupnya
selama berhubungan dengan mantanya tersebut. Nafasnya begitu panjang,
tak teratur, dimatanya kulihat ada gerimis, meski tak menjadi hujan,
tapi aku tahu pasti bahwa itu gerimis. Ya, itu gerimis! Maka aku jadi
yakin, bahwa ia betul-betul ingin kembali ke saat-saat itu. Kenangan..
“Ceritain ke gw masa-masa yang paling berkesan pas lu sama dia?” kataku.
“Semuanya berkesan, Res!” jawabnya mantap.
“Yang paling, paling, paling!”
Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia berhenti. Seperti tersendak biji duku. Sejenak ia meundukan kepala, lalu melanjutkan..
“Pas ujan, Res.”
Lagi-lagi
suasana hening. Aku merasakan waktu melambat disekitarku. Seaakan dunia
sedang mengarah padaku. Ia menundukan kepala lagi. Aih, kenapa selalu
hujan? Hujan, hujan, hujan.
“Kita makan bakso, Res. Pas gw
ngasih saos di piring gw, dia liat mata gw terus bilang, ‘Pake saos
jangan banyak-banyak donk, nggak baik tau.’ Saat itu gw diem sich, Res.
Tapi setelah itu dia pegang tangan gw, sambil bilang, ‘Kalo jadi cowo
itu mbo yo sing teges.’ Nah! Disitu gw ngerasa hidup ini cuma buat gw
dan dia. cuma buat kita! Ya, Res, buat kita! Bukan buat orang-orang
diluaran sono yang cuma mikirin perut dan kelamin mereka. Dan sampe
sekarang kata-kata itu selalu buat gw bangkit pas gw lagi drop. Tuhan
emang Mahabaik, Res!”
“Ya, Nif. Tuhan emank Mahabaik.” Jawabku singkat. Aku berfikir sejenak kemudian bertanya..
“Sebab kenapa lu putus sama dia?”
“Sorry, Res. Gw nggak bisa cerita.”
“Ah, baiklah.”
“Pokonya
nggak ada yang bisa kaya dia, Res. Dia itu utuh kaya gitu. Dia dengan
dirinya sendiri yang di mata gw bener-bener sempurna. Dia…. Ah, pokonya
dia gokil! Dan gw harap gw bisa dapetin cewe yang kaya dia lagi.”
Percakapan kami berhenti sejenak…
“Jadi ini alasan lu kenapa puasa sampe lima tahun?” tanyaku.
“Yes!”
Lalu
kurasakan pening di kepala. Hatiku terus saja berkata-kata tak jelas.
Aih, aku pernah seperti Hanif, aku pernah sekarat, aku pernah terjebak
ke tempat paling menyeramkan di dunia, kenangan. Ah, betapa sempitnya
hidup ini.
“Kenapa nggak lu tulis, Nif? Buat cerpen gitu?”
“Nggak Res, kemampuan berkata-kata gw nggak bakal bisa ngewakilin moment-moment berharga itu. Nggak ada yang mampu..”
***
Percakapan
kami selesai. Ia pun pulang kerumahnya, ke Bantul. Aku sendiri di kos.
Kemudian wajah seorang mantan muncul di langit-langit kamar, tak lama,
hanya sedetik, kemudian pergi, dan muncul wajah seorang yang sekarang ku
jaga. Pacaraku, aih betapa aku sangat tolol jika ia kusia-siakan!
Tidak, aku sudah berdamai dengan hatiku. Aku tak mau membuang-buang
waktu! Aku serius dengannya. Dengan seluruh nafas dan jiwaku. Ya, dengan
seluruh hidupku..
Aku serius!
Jogja,
Wednesday, March 27
Obrolan Intim Dengan Hanif.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment