Pages

Wednesday, March 27

Obrolan Intim Dengan Hanif.

..begitulah, bagai sebuah gerimis, datang dengan tiba-tiba, pun pulang dengan tiba-tiba. Tanpa rencana, tanpa duga. Dengan sebuah kenangan yang lusuh, yang terlipat dalam sebuah hati yang menjerit. Perih..
Hanif, seorang teman yang sadar betul, bahwa hidup ini begitu tak terencana. Begitu rahasia. Seperti gerimis. Ya, gerimis. Ritmis.


Malam ini tak seperti biasanya, begitu banyak yang ia bagi denganku, banyak yang ia ceritakan padaku melebihi hal-hal sepele yang tak penting. Tentang sebuah kisah nano-nano dengan para wanita-wanita yang datang dan pergi di hati. Ia menangis, ah salah, maksudku ia menjerit! Kehilangan begitu menyiksa, Ia seperti ingin meneriakan sesuatu. Sesuatu yang sering di sebut-sebut orang sebagai; cinta sejati.

"Gw jomblo dah lima tahun, Res." Katanya singkat.

Aku tak merespon. Aku diam. Meski aku tahu ia butuh respon, tapi, apakah ini saat yang tepat untuk melawak? Tidak, kurasa tidak. Aku menunggu kata-kata selanjutnya. Kurasa ia serius. Ia ingin berkisah..

"Nggak ada yang bisa kaya dia, Res. Dia itu kaya maliakat, bidadari yang diturunin Tuhan buat ngerubah jalan pikiran gw. Gw jadi kaya gini gara-gara dia. Gw dulu tu masih kaya bocah, Res. Sering ngacao kalo sama cewe. Emank sich, gw nggak berubah jadi orang yang bener-bener baik, tapi seenggaknya dia buat gw jadi sadar kalo kebaikan itu emank penting di dunia yang makin kaya anjing ini. Dan itu nyata! Gw bener-bener bersyukur kenal sama dia. Dia malaikat. Bidadari. Penyelamat!"

Sejenak ku hisap Surya. Kubuang asapnya dengan satu kali desahan. Ah, lagi-lagi kenangan. Dadaku bergetar, entah karena apa. Tanganku juga bergetar, juga entah karena apa. Lalu aku bicara..

“Lima tahun bukan waktu yang dikit buat ngelupain seseorang, Nif. Gw tahu yang lu rasain, tapi gw nggak tau cara yang tepat buat ngubur masa lalu. Kadang masa lalu itu emank kaya anjing. Berengsek! Bikin kita nyesek. Bikin pening!”

Ia tak menjawab. Ia hisap Surya yang tinggal setengah lalu membuang asapnya dengan penuh penghayatan. Di titik ini aku tahu, bahwa ia lagi menyusun kenangan-kenangannya. Ia ingin bercerita  lebih jauh, tapi ku tahu pasti tak akan lebih dalam. Maka aku bertanya:

“Apa kabarnya sekarang, Nif?”

“Terakhir gw ketemu dia di lampu merah, Res. Dia masih cantik. Masih kaya bidadari. Dan itu ngga terbantah! Masih sempurna..”

“Kok nggak lu cegat?”

“Kagak lah, Res. Gw udah ikhlas ngelepas dia. Lagian dia udah dapet yang terbaik sebagai seorang wanita. Dia punya suami yang gw tau pasti sayang banget ma dia. Dia punya anak yang gw tau pasti bakal secantik dia nantinya. Dia punya keluarga yang bahagia. Ya, dia bahagia, Res. Dengan keluarganya..”

“Dah berapa lama lu jalan ma dia?”

“Sembilan bulan.”

“Mantan terlama?”

“Yes! Juga yang terbaik.”

Keadaan hening. Rokonya habis, dan aku belum. Terdengar sayup-sayup suara mp3 dari sebuah tempat yang jauh. Lampu masih benderang menerangi malam yang semakin naik. Kulirik ia sekilas. Ia nampak begitu lelah. Seperti kehilangan semangat yang biasa kulihat darinya. Ia jatuh(lagi) ke tempat itu. Ia merindukan masa-masa itu. Masa-masa terbaik dalam hidupnya selama berhubungan dengan mantanya tersebut. Nafasnya begitu panjang, tak teratur, dimatanya kulihat ada gerimis, meski tak menjadi hujan, tapi aku tahu pasti bahwa itu gerimis. Ya, itu gerimis! Maka aku jadi yakin, bahwa ia betul-betul ingin kembali ke saat-saat itu. Kenangan..

“Ceritain ke gw masa-masa yang paling berkesan pas lu sama dia?” kataku.

“Semuanya berkesan, Res!” jawabnya mantap.

“Yang paling, paling, paling!”

Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia berhenti. Seperti tersendak biji duku. Sejenak ia meundukan kepala, lalu melanjutkan..

“Pas ujan, Res.”

Lagi-lagi suasana hening. Aku merasakan waktu melambat disekitarku. Seaakan dunia sedang mengarah padaku. Ia menundukan kepala lagi. Aih, kenapa selalu hujan? Hujan, hujan, hujan.

“Kita makan bakso, Res. Pas gw ngasih saos di piring gw, dia liat mata gw terus bilang, ‘Pake saos jangan banyak-banyak donk, nggak baik tau.’ Saat itu gw diem sich, Res. Tapi setelah itu dia pegang tangan gw, sambil bilang, ‘Kalo jadi cowo itu mbo yo sing teges.’ Nah! Disitu gw ngerasa hidup ini cuma buat gw dan dia. cuma buat kita! Ya, Res, buat kita! Bukan buat orang-orang diluaran sono yang cuma mikirin perut dan kelamin mereka. Dan sampe sekarang kata-kata itu selalu buat gw bangkit pas gw lagi drop. Tuhan emang Mahabaik, Res!”

“Ya, Nif. Tuhan emank Mahabaik.” Jawabku singkat. Aku berfikir sejenak kemudian bertanya..

“Sebab kenapa lu putus sama dia?”

“Sorry, Res. Gw nggak bisa cerita.”

“Ah, baiklah.”

Pokonya nggak ada yang bisa kaya dia, Res. Dia itu utuh kaya gitu. Dia dengan dirinya sendiri yang di mata gw bener-bener sempurna. Dia…. Ah, pokonya dia gokil! Dan gw harap gw bisa dapetin cewe yang kaya dia lagi.

Percakapan kami berhenti sejenak…

“Jadi ini alasan lu kenapa puasa sampe lima tahun?” tanyaku.

“Yes!”

Lalu kurasakan pening di kepala. Hatiku terus saja berkata-kata tak jelas. Aih, aku pernah seperti Hanif, aku pernah sekarat, aku pernah terjebak ke tempat paling menyeramkan di dunia, kenangan. Ah, betapa sempitnya hidup ini.

“Kenapa nggak lu tulis, Nif? Buat cerpen gitu?”

“Nggak Res, kemampuan berkata-kata gw nggak bakal bisa ngewakilin moment-moment berharga itu. Nggak ada yang mampu..”


***

Percakapan kami selesai. Ia pun pulang kerumahnya, ke Bantul. Aku sendiri di kos. Kemudian wajah seorang mantan muncul di langit-langit kamar, tak lama, hanya sedetik, kemudian pergi, dan muncul wajah seorang yang sekarang ku jaga. Pacaraku, aih betapa aku sangat tolol jika ia kusia-siakan! Tidak, aku sudah berdamai dengan hatiku. Aku tak mau membuang-buang waktu! Aku serius dengannya. Dengan seluruh nafas dan jiwaku. Ya, dengan seluruh hidupku..
Aku serius!

















Jogja,


0 comments:

Post a Comment