Pengertian Sastra
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti kata sastra adalah
“karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki
berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan
dalam isi dan ungkapannya”. Karya sastra berarti karangan yang
mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.
Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial,
maupun intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra
dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan
wawasannya sendiri.
Menurut Wellek dan Warren (1989) sastra adalah sebuah karya seni yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. sebuah ciptaan, kreasi, bukan imitasi
2. luapan emosi yang spontan
3. bersifat otonom
4. otonomi sastra bersifat koheren(ada keselarasan bentuk dan isi)
5. menghadirkan sintesis terhadap hal-hal yang bertentangan
6. mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan bahasa sehari-hari.
Sastra
bukanlah seni bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam
menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya faktor
yang menentukan adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai
medianya. Berkaitan dengan maksud tersebut, sastra selalu bersinggungan
dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat
estetik saja. Sastra selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial,
moral, psikologi, dan agama. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan
dalam karya sastra.
Sastra
dapat memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya.
Seringkali dengan membaca sastra muncul ketegangan-ketegangan (suspense).
Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif.
Adakalanya dengan membaca sastra kita terlibat secara total dengan apa
yang dikisahkan. Dalam keterlibatan itulah kemungkinan besar muncul
kenikmatan estetis. Menurut Luxemburg dkk (1989) sastra juga bermanfaat
secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang
dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara
yang khusus.
Berdasarkan
uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sastra adalah hasil cipta
manusia dengan menggunakan media bahasa tertulis maupun lisan, bersifat
imajinatif, disampaikan secara khas, dan mengandung pesan yang bersifat
relatif.
B. Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi
sastra adalah penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari
awal kemunculan sampai dengan perkembangannya. Selain berdasarkan tahun
kemunculan, periodisasi sastra juga dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri
sastra yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan
pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan objek karya
kreatifnya.
Dilihat dari sejarahnya, sastra terdiri atas tiga bagian, yaitu :
1.
Kesusastraan Lama, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat lama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kesusastraan lama
Indonesia dibagi menjadi:
a. kesusastraan zaman purba;
b. kesusastraan zaman Hindu Budha;
c. kesusastraan zaman Islam;
d. kesusastraan zaman Arab–Melayu.
2. Kesusastraan
Peralihan, kesusastraan yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir
Munsyi. Karya- karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi antara lain:
a. Hikayat Abdullah;
b. Syair Singapura Dimakan Api;
c. Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah;
d. Syair Abdul Muluk, dll.
3.
Kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat baru Indonesia. Kesusastraan Baru mencakup kesusastraan pada
zaman:
a. Balai Pustaka / Angkatan ’20;
b. Pujangga Baru / Angkatan ’30;
c. Jepang;
d. Angkatan ’45;
e. Angkatan ’66;
f. Mutakhir / Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang.
Selain
penjelasan tersebut, berikut ini dikemukakan periodisasi sastra menurut
H.B. Jassin. H.B.Jassin mengelompokkan sastra Indonesia atas dua
periode, yaitu:
1. periode sastra Melayu Lama
2. periode sastra Indonesia Modern. yang terdiri atas empat angkatan, yaitu:
a. Angkatan Balai Pustaka;
b. Angkatan Pujangga Baru;
c. Angkatan ’45;
d. Angkatan ‘66 ;
Berikut ini dipaparkan tentang periode sastra tersebut.
1. Sastra Melayu Lama
Sastra
Melayu lama merupakan sastra Indonesia sebelum abad ke- 20 dengan
ciri-cirinya, antara lain: masih menggunakan bahasa Melayu, umumnya
bersifat anonim, bersifat istanasentris, dan menceritakan hal-hal berbau
mistis seperti dewa-dewi, kejadian alam, peri, dan sebagainya.
Sastra
pada masa Sastra Melayu Lama contohnya: dongeng tentang arwah,
hantu/setan, keajaiban alam, dan binatang jadi-jadian. Berbagai macam
hikayat seperti; Hikayat Mahabharata, Hikayat Ramayana, Hikayat Sang Boma., Syair Perahu dan Syair Si Burung Pungguk oleh Hamzah Fansuri dan Gurindam Dua Belas dan Syair Abdul Muluk oleh Raja Ali Haji.
2. Sastra Indonesia Modern
a. Angkatan Balai Pustaka
Angkatan
Balai Pustaka lazim juga disebut Angkatan 20–an atau Angkatan Siti
Nurbaya. Angkatan ini merupakan titik tolak kesustraan Indonesia. Adapun
ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka adalah: menggunakan bahasa Indonesia
yang masih terpengaruh oleh bahasa Melayu, persoalan yang diangkat
persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa, dipengaruhi kehidupan tradisi
sastra daerah/lokal, dan cerita yang diangkat seputar romantisme.
Angkatan
Balai Pustaka disebut juga Angkatan Siti Nurbaya, karena salah satu
roman yang sangat terkenal pada angkatan ini adalah Roman Siti Nurbaya.
Berikut ini dapat kita pelajari bersama sinopsis Roman Siti Nurbaya.
Siti Nurbaya adalah
roman yang ditulis oleh Marah Rusli. Roman ini menceritakan tentang
pemuda yang bernama Samsul Bahri, dengan kekasihnya Siti Nurbaya, dan
Datuk Maringgih. Datuk Maringgih dengan keserakahannya menginginkan Siti
Nurbaya untuk menjadi istrinya yang kesekian. Dengan licik ia beserta
kaki tangannya berhasil menghancurkan perniagaan Baginda Sulaiman, ayah
Siti Nurbaya. Karena terlibat utang yang tak akan terbayar oleh Baginda
Sulaiman, akhirnya Datuk Maringgih berhasil menikahi Siti Nurbaya. Ia dengan terpaksa mengikuti keinginan Datuk Maringgi karena tidak rela ayahnya dipenjara.
Samsul
Bahri sangat mencintai Siti Nurbaya, berusaha untuk bunuh diri, tetapi
gagal. Kemudian, ia menyamar menjadi Letnan Mas setelah bergabung dengan
Kompeni Belanda. Ketika terjadi perang antara Belanda dengan masyarakat
Sumatera Barat, Letnan Mas bertempur dengan Datuk Maringgih. Akhir
cerita, semua tokoh penting dalam cerita ini meninggal dunia. Mereka
dimakamkan di Gunung Padang.
Melalui
cerita ini, dapat kita ketahui bahwa kaum perempuan di masa itu, masih
terpinggirkan atau belum mendapatkan kesetaraan. Walaupun Siti Nurbaya
berasal dari keluarga kaya, ia tidak boleh meneruskan pendidikannya
setamat dari sekolah rakyat. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan
perempuan tidak perlu bersekolah tinggi. Perempuan cukup mengabdi kepada
suami atau mengurusi rumah tangga. Selain itu, pengaruh tradisi dan
adat masih sangat kuat, sehingga siapa pun yang melanggarnya akan
dijadikan bahan pembicaraan di masyarakat.
Berikut
ini contoh lain karya sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka, yaitu
berupa roman dan kumpulan puisi. Karya berupa roman antara lain Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Muda Teruna (Adi Negoro) , Salah Pilih (Nur St. Iskandar) dan Dua Sejoli (M. Kasim dkk.). Karya berupa kumpulan puisi antara lain Percikan Permenungan (Rustam Effendi) dan Puspa Mega (Sanusi Pane).
b. Angkatan Pujangga Baru
Angkatan
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang
dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa
tersebut. Sensor dilakukan terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga
Baru adalah sastra intelektual dan nasionalistik. Ciri-ciri sastra pada
masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sudah menggunakan bahasa
Indonesia, menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan
intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang),
pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional,
menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme,
dan materialisme.
Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana. Layar Terkembang merupakan
kisah roman antara tiga muda-mudi, yaitu: Yusuf, Maria, dan Tuti.
Berikut ini dapat kita pelajari Roman Layar Terkembang. Yusuf adalah
seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita. Maria
adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan
memandang kehidupan dengan penuh kebahagian. Tuti adalah guru dan juga
gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan
dan memperjuangkan kemajuan wanita.
Dalam kisah Layar Terkembang,
Sutan Takdir Alisjahbana ingin menyampaikan beberapa hal yaitu,
perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan
pengaruh yang sangat besar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di
masyarakat. Selain itu, masalah yang datang harus dihadapi bukan
dihindari dengan mencari pelarian, seperti perkawinan yang digunakan
untuk pelarian mencari perlindungan, belas kasihan dan pelarian dari
rasa kesepian atau demi status budaya sosial.
Di
sisi lain, pada Angkatan Pujangga Baru Amir Hamzah diberi gelar sebagai
“Raja Penyair Pujangga Baru.” Beliau diberi gelar tersebut karena mampu
menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia
yang sedang berkembang. Dengan susah payah beliau mampu menarik keluar
puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih
terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi dasar dari Indonesia yang
sedang dicitacitakan bersama.
c. Angkatan ’45
Angkatan
’45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat memprihatinkan dan serba
keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan dengan
peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ciri-ciri
Angkatan ’45 antara lain: terbuka, pengaruh unsur sastra asing lebih
luas, corak isi lebih realis, naturalis, dan individualisme sastrawan
lebih menonjol. Puisi yang dianggap maskot pembaharuan dalam sejarah
perpuisian di Indonesia adalah puisi yang berjudul “ Aku” karya Chairil
Anwar. Dalam puisi tersebut, Chairil menggambarkan pandangan dan
semangat hidupnya yang menggebu-gebu, individualistis, dan revolusioner.
Berikut ini disajikan puisi “Aku” seutuhnya.
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorangpun kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar)
Karya sastra pada masa Angkatan ’45, antara lain: Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin), Deru Campur Debu (Chairil Anwar), Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (Chairil Anwar) , Pembebasan Pertama (Amal Hamzah), Kata Hati dan Perbuatan (Trisno Sumardjo)
d. Angkatan ‘66
Angkatan ’66 ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat
menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan yang
sangat beragam dalam aliran sastra, seperti munculnya karya sastra
beraliran surealis, arus kesadaran, arketipe, absurd, dan lainnya.
Angkatan
ini lahir di antara anak-anak muda dalam barisan perjuangan. Angkatan
ini mendobrak kemacetan-kemacetan yang disebabkan oleh pemimpin-pemimpin
yang salah urus. Para mahasiswa mengadakan demonstrasi besar-besaran
menuntut ditegakkannya keadilan dan kebenaran.
Ciri-ciri
sastra pada masa Angkatan ’66 adalah: bercorak perjuangan antitirani,
protes politik, anti kezaliman dan kebatilan, bercorak membela keadilan,
mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan, berontak terhadap
ketidakadilan, pembelaan terhadap Pancasila, berisi protes sosial dan
politik. Hal tersebut diungkapkan dalam karya sastra pada masa Angkatan
’66 antara lain: Pabrik (Putu Wijaya), Ziarah (Iwan Simatupang), serta Tirani dan Benteng (Taufik Ismail).
Berikut ini disajikan puisi Taufik Ismail, yang mencerminkan keprihatinannya terhadap situasi negara di masa itu.
Depan Sekretaris Negara
Setelah korban diusung
Tergesa-gesa
Keluar jalanan
Kami semua menyanyi
“ Gugur Bunga”
Perlahan-lahan
Prajurit ini
Membuka baretnya
Air mata tak tertahan
Di puncak gayatri
Menundukkan bendera
Di belakangnya segumpal awan
(Antologi Tirani)
C. Aliran Sastra
Kata mazhab atau aliran berasal dari kata stroming (bahasa
Belanda) yang mulai muncul di Indonesia pada zaman Pujangga Baru. Kata
itu bermakna keyakinan yang dianut golongan-golongan pengarang yang
sepaham, ditimbulkan karena menentang paham-paham lama
(Hadimadja,1972:9). Dalam bahasa Inggris, terdapat dua kata yang
maknanya sangat berkaitan dengan aliran, yaitu periods, age, school, generation dan movements.
Aliran
sastra pada dasarnya berupaya menggambarkan prinsip (pandangan hidup,
politik, dll) yang dianut sastrawan dalam menghasilkan karya sastra.
Dengan kata lain, aliran sangat erat hubungannya dengan sikap/jiwa
pengarang dan objek yang dikemukakan dalam karangannya.
Pada prinsipnya, aliran sastra dibedakan menjadi dua bagian besar, yakni (1) idealisme, dan (2) materialisme. Idealisme adalah
aliran romantik yang bertolak dari cita-cita yang dianut oleh
penulisnya. Menurut aliran ini, segala sesuatu yang terlihat di alam ini
hanyalah merupakan bayangan dari bayangan abadi yang tidak terduga oleh
pikiran manusia. Aliran idealisme ini dapat dibagi menjadi (a) romantisisme, (b) simbolik, (c) mistisisme, dan (d) surealisme.
Romantisisme adalah
aliran karya sastra yang sangat mengutamakan perasaan, sehingga objek
yang dikemukakan tidak lagi asli, tetapi telah bertambah dengan unsur
perasaan si pengarang. Aliran ini dicirikan oleh minat pada alam dan
cara hidup yang sederhana, minat pada pemandangan alam, perhatian pada
kepercayaan asli, penekanan pada kespontanan dalam pikiran, tindakan,
serta pengungkapan pikiran. Pengikut aliran ini menganggap imajinasi
lebih penting daripada aturan formal dan fakta. Aliran ini kadangkadang
berpadu dengan aliran idealisme dan realisme sehingga timbul aliran romantik idealisme, dan romantik realisme.
Romantik idealisme adalah
aliran kesusastraan yang mengutamakan perasaan yang melambung tinggi ke
dalam fantasi dan cita-cita. Hasil sastra Angkatan. Pujangga Baru
umumnya termasuk aliran ini. Sementara romantik realism mengutamakan
perasaan yang bertolak dari kenyataan (contoh: puisi-puisi Chairil Anwar
dan Asrul Sani).
Simbolik adalah
aliran yang muncul sebagai reaksi atas realisme dan naturalisme.
Pengarang berupaya menampilkan pengalaman batin secara simbolik. Dunia
yang secara indrawi dapat kita cerap menunjukkan suatu dunia rohani yang
tersembunyi di belakang dunia indrawi. Aliran ini selalu menggunakan
simbol atau perlambang hewan atau tumbuhan sebagai pelaku dalam cerita.
Contoh karya sastra yang beraliran ini misalnya Tinjaulah Dunia Sana, Dengarlah Keluhan Pohon Mangga karya Maria Amin dan Kisah Negara Kambing karya Alex Leo.
Mistisisme adalah
aliran kesusastraan yang bersifat melukiskan hubungan manusia dengan
Tuhan. Mistisisme selalu memaparkan keharuan dan kekaguman si penulis
terhadap keagungan Maha Pencipta. Contoh karya sastra yang beraliran ini
adalah sebagaian besar karya Amir Hamzah, Bahrum Rangkuti, dan
J.E.Tatengkeng.
Surealisme adalah
aliran karya sastra yang melukiskan berbagai objek dan tanggapan secara
serentak. Karya sastra bercorak surealis umumnya susah dipahami karena
gaya pengucapannya yang melompat-lompat dan kadang terasa agak kacau.
Contoh karya sastra aliran ini misalnya Radio Masyarakat karya Rosihan Anwar, Merahnya Merah karya Iwan Simatupang, dan Tumbang karya Trisno Sumardjo.
Materialisme berkeyakinan
bahwa segala sesuatu yang bersifat kenyataan dapat diselidiki dengan
akal manusia. Dalam kesusastraan, aliran ini dapat dibedakan atasrealisme dan naturalisme.
Realisme adalah
aliran karya sastra yang berusaha menggambarkan/memaparkan/menceritakan
sesuatu sebagaimana kenyataannya. Aliran ini umumnya lebih objektif
memandang segala sesuatu (tanpa mengikutsertakan perasaan). Sebagaimana
kita tahu, Plato dalam teori mimetiknya pernah menyatakan bahwa sastra
adalah tiruan kenyataan/ realitas. Berangkat dari inilah kemudian
berkembang aliran-aliran, seperti: naturalisme, dan determinisme.
Realisme sosialis adalah aliran karya sastra secara realis yang digunakan pengarang untuk mencapai cita-cita perjuangan sosialis.
Naturalisme adalah
aliran karya sastra yang ingin menggambarkan realitas secara jujur
bahkan cenderung berlebihan dan terkesan jorok. Aliran ini berkembang
dari realisme. Ada tiga paham yang berkembang dari aliran realisme (1)
saintisme (hanya sains yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar),
(2) positivisme ( menolak metafisika, hanya pancaindra kita berpijak
pada kenyataan), dan (3) determinisme (segala sesuatu sudah ditentukan
oleh sebab musabab tertentu).
Impresionisme adalah
aliran kesusastraan yang memusatkan perhatian pada apa yang terjadi
dalam batin tokoh utama. Impresionisme lebih mengutamakan pemberian
kesan/pengaruh kepada perasaan daripada kenyataan atau keadaan yang
sebenarnya. Beberapa pengarang Pujangga Baru memperlihatkan
impresionisme dalam beberapa karyanya.
D. Genre Sastra
Karya
sastra menurut genre atau jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan
drama. Pembagian tersebut semata-mata didasarkan atas perbedaan bentuk
fisiknya saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa pun
bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam
segala wujud dan dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk
sastra ini memudahkan proses pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula
komponen–komponen yang turut membangun karya sastra tersebut. Berikut
ini dipaparkan ketiga bentuk karya sastra tersebut.
1. Puisi
Puisi
adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya dan memuat
pengalaman yang disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang
terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi makna
dan ditafsirkan secara estetik.
Susunan
kata dalam puisi relatif lebih padat dibandingkan prosa. Kehadiran
kata-kata dan ungkapan dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi:
makna, citraan, rima, ritme, nada, rasa, dan jangkauan simboliknya.
Sebagai alat, katakata dalam puisi harus mampu diboboti oleh gagasan
yang ingin diutarakan penyair. Di samping itu, kata-kata puisi harus
pula mampu membangkitkan tanggapan rasa pembacanya. Kebebasan penyair
untuk memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi itu dalam istilah
kesusastraan dikenal sebagai lisentia poetica. Istilah ini
menyiratkan adanya semacam kewenangan bagi penyair untuk mematuhi atau
menyimpangi norma ketatabahasaan. Pematuhan dan penyimpangan ini
haruslah mempertimbangkan tercapainya kepuitisannya.
Dari
segi bentuknya kita mengenal puisi terikat dan puisi bebas. Puisi
terikat dapat dikatakan sebagai puisi lama, puisi yang diciptakan oleh
masyarakat lama, seperti pantun, syair,dan gurindam.
Puisi baru, puisi bebas atau yang lebih dikenal sebagai puisi modern yang mulai
muncul pada masa Pujangga Baru dan dipopulerkan oleh Angkatan 45 yang
dipelopori oleh Chairil Anwar. Puisi modern dilahirkan dalam semangat
mencari kebebasan pengucapan pribadi. Puisi modern dapat dianggap
sebagai bentuk pengucapan puisi yang tidak menginginkan pola-pola
estetika yang kaku atau patokan-patokan yang membelenggu kebebasan jiwa
penyair. Dengan demikian, nilai puisi modern dapat dilihat pada
keutuhan, keselarasan, dan kepadatan ucapan, dan bukan terletak pada
jumlah bait dan larik yang membangunnya.
Sebagai
sistem tanda, karya sastra puisi dapat disikapi sebagai salah satu
ragam penggunaan bahasa dalam kegiatan komunikasi. Akan tetapi, bentuk
komunikasi dalam sastra juga bersifat khas karena (1) tidak mempunyai
bentuk hubungan timbal balik antara penutur dan penanggap secara
langsung, (2) pemahaman pesannya telah mengalami otonomisasi karena
pemahaman pesan tidak terjadi secara otomatis, dan (3) berbeda dengan
komunikasi lisan, karena komunikasi sastra tidak lagi terikat oleh
konteks hubungan langsung, misalnya tempat, waktu, dan peristiwa.
Untuk
mengapresiasi suatu puisi seorang pembaca harus menciptakan kontak,
dalam arti membaca teks sastra dan melakukan penghayatan. Kontak ini
bisa terjadi apabila pembaca memahami kode kebahasaan ataupun sistem
tanda dalam puisi yang diapresiasi. Hanya melalui hubungan yang demikian
komunikasi dapat berlangsung dan karya sastra mendapatkan maknanya.
Gejala
komunikasi seperti di atas dapat dihubungkan dengan sejumlah fungsi
bahasa seperti fungsi (1) emotif, (2) referensial, (3) puitik, (4)
fatis, (5) metalingual, dan (6) konatif (Jacobson, dalam Teeuw, 1984).
Fungsi emotif mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan, membentuk dan mengekspresikan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap penyair.
Fungsi referensial mengacu
pada fungsi bahasa untuk menggambarkan objek, peristiwa, benda ataupun
kenyataan tertentu sejalan dengan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap
yang kita sampaikan, contoh dari pernyataan tersebut, misalnya dalam
pernyataan Aku ini binatang jalang di tengah kumpulan terbuang.
Fungsi puitik yakni fungsi bahasa untuk menggambarkan makna sebagaimana terdapat dalam lambang kebahasaan itu sendiri. Untuk memahami makna binatang jalang misalnya, pembaca dapat menggambarkannya sebagai (mahluk bernyawa, kuat, liar, tidak terikat, tidak tergantung pada yang lain) dan sebagainya sebagai pemaknaan dari binatang jalang.
Fungsi fatis,
mengacu pada konsepsi bahwa bentuk kebahasaan yang digunakan dalam
komunikasi juga bisa digunakan untuk fungsi mempertahankan hubungan. Hal
ini berguna untuk menciptakan kesan keakraban ataupun menciptakan
bentuk-bentuk hubungan tertentu. Contoh dari pernyataan di atas
misalnya, ketika kita membawa keranjang belanjaan, kita mungkin mendapat
pertanyaan, “Dari pasar?” Kita tentunya hanya menjawab “Ya!” karena
ujaran tersebut hanya untuk menciptakan keakraban atau hubungan sosial
dan tidak mempunyai gagasan atau konsepsi apapun. Di dalam karya sastra
penggunaan bahasa yang berkaitan dengan fungsi fatis bisa juga muncul apabila penggunaan bahasa itu hanya sekedar hiasan, sarana pemandu bunyi, atau sekedar kelayakan saja.
Fungsi konatif berisi
konsepsi bahwa peristiwa bahasa dalam komunikasi berfungsi menimbulkan
efek, imbauan, ataupun dorongan tertentu penanggapnya. Contoh dari
pernyataan di atas, misal ketika kita membaca tulisan “Awas jalan licin” mungkin
secara refleks kita akan mengurangi kecepatan dalam berkendaraan atau
berjalan. Dalam membaca karya sastra, fungsi konatif itu berkaitan
dengan efek pemahaman, misalnya, tentang nilai kehidupan yang mendorong
kesadaran batin pembaca untuk melakukan ataupun menghayati pemahaman
yang diperoleh itu dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat kita pahami bahwa puisi sebagai suatu struktur
makro keberadaannya terkait dengan penyair, konteks, gagasan, sistem
tanda yang terwujud dalam bentuk teks yang menjadi sarana kontak dengan
pembaca (penerima). Selain komponen makro kita juga mendapatkan komponen
mikro, yakni komponen yang membentuk puisi sebagai teks secara
internal. Jelasnya suatu puisi akan memanfaatkan (1) bunyi bahasa, (2)
katakata atau diksi, dan (3) penggunaan gaya bahasa untuk menciptakan
kontak dengan pembacanya.
Unsur
keindahan bunyi dalam puisi juga ditunjang oleh penggunaan unsur bunyi
yang juga mempunyai berbagai macam karakteristik, seperti asonansi,
disonansi, aliterasi, rima, dan irama.
Untuk
memahami makna puisi, kita akan menemukan makna literal, pengertian
tersirat, dan nilai kehidupan. Makna literal merupakan makna yang
digambarkan oleh kata-kata dalam puisi seperti lazim dipersepsikan dalam
kehidupan sehari-hari. Ketika membaca larik puisi Aku ini binatang jalang, misalnya, kata aku akan memberikan gambaran seseorang sebagai persona, misalnya penyair. Sementara kata binatang jalang membentuk gambaran dari sesuatu yang disebut binatang jalang.
Dalam kesadaran batin pembaca mungkin akan muncul gambaran hewan yang
disebut singa, harimau, atau hewan yang dapat dikategorikan sebagai binatang jalang.
Larik puisi Aku ini binatang jalang, tentu saja tidak memuat informasi ataupun pengertian bahwa ’aku ini merupakan hewan harimau”. Gambaran bahwa aku merupakan binatang jalang hanya merupakan perbandingan atau metafora aku layaknya atau bagaikan binatang jalang. Dengan kata lain, menggambarkan aku seperti singa atau harimau memuat
pengertian yang tersirat. Guna memahami pengertian tersiratnya kita
mestilah memahami gambaran ciri singa ataupun harimau yang layak
diperbandingkan atau dihubungkan dengan ciri yang tedapat pada manusia.
Dengan begitu, kita tidak akan mengangkat ciri singa yang mempunyai kaki
empat, suka makan daging mentah, telanjang, tetapi mengambil ciri singa
yang menggambarkan kekuatan, keberanian, berkeliaran, dan sebagainya.
Untuk
memahami nilai kehidupan tentu saja kita harus memahami makna yang
terdapat dalam puisi tersebut. Apabila hal tersebut dilaksanakan dan
dihayati dalam kehidupan sehari-hari, manfaat itu berlaku juga bagi
kehidupan manusia pada umumnya. Jadi jelas pemahaman nilai-nilai
kehidupan memang benarbenar memiliki relevansi dengan kenyataan
kehidupan sehari-hari.
2. Prosa
Prosa
merupakan jenis karya sastra dengan ciri-ciri antara lain (1) bentuknya
yang bersifat penguraian, (2) adanya satuan-satuan makna dalam wujud
alineaalinea, dan (3) penggunaan bahasa yang cenderung longgar. Bentuk
ini merupakan rangkaian peristiwa imajinatif yang diperankan oleh
pelaku-pelaku cerita, dengan latar dan tahapan tertentu yang sering
disebut dengan cerita rekaan. Bentuk ini terbagi atas kategori cerita
pendek, novelet, dan novel.
Sebagai
cerita rekaan, ia juga harus memiliki unsur-unsur, seperti pengarang,
isi cerita, bahasa dan unsur-unsur fiksi. Unsur-unsur cerita rekaan
antara lain sebagai berikut (a) tokoh dan penokohan, (b) alur, (c)
latar, (d) tema, (e) amanat, (f) sudut pandang, (g) dan gaya bahasa,
yang semuanya saling berhubungan sehingga membentuk satu cerita yang
utuh.
Pembagian
bentuk prosa seperti yang dikemukakan oleh H.B.Yassin adalah cerpen,
novel, dan roman. Menurutnya, cerpen adalah cerita fiksi yang habis
dibaca dalam sekali duduk. Novel adalah cerita fiksi yang mengisahkan
perjalanan hidup para tokohnya dengan segala liku-liku perjalanan dan
perubahan nasibnya. sedangkan roman adalah cerita fiksi yang mengisahkan
tokoh-tokohnya sejak kanak-kanak sampai tutup usia. Jadi, panjang
pendeknya cerita tidak dapat dijadikan patokan. Namun, sekarang ini
istilah roman sudah jarang digunakan karena dianggap sama dengan novel.
Cerpen
biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya sedikit),
dan mencakup peristiwa yang terbatas pula. Kualitas tokoh dalam cerpen
jarang dikembangkan secara penuh. Karena serba dibatasi, tokoh dalam
cerpen biasanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, karakter
tokoh langsung ditunjukkan oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi,
atau dialog. Di samping itu, cerita pendek biasanya mencakup rentang
waktu cerita yang pendek pula, misalnya semalam, sehari, seminggu,
sebulan, atau setahun.
Novel
memiliki durasi cerita yang lebih panjang dibandingkan dengan cerpen.
Novel memiliki peluang yang cukup untuk mengeksplorasi karakter tokohnya
dalam rentang waktu yang cukup panjang dan kronologi cerita yang
bervariasi (ganda). Novel memungkinkan kita untuk menangkap perkembangan
kejiwaan tokoh secara lebih komprehensif dan memungkinkan adanya
penyajian secara panjang lebar mengenai permasalahan manusia. Itulah
sebabnya, permasalahan yang diangkat menjadi tema-tema novel umumnya
jauh lebih kompleks dan rumit bila dibandingkan dengan cerpen.
Permasalahan hidup manusia yang menjadi sumber inspirasi penulis
sangatlah rumit dan kompleks. Jika dipetakan pemasalahan itu meliputi
hubungan antarmanusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia
dengan masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Peranan tokoh
tidak statis, tetapi bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan
keleluasaan juga membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering
menjadi bumbu cerita.
Demikianlah
sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga dibangun oleh unsur-unsur
yang mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun karya sastra lazim
disebut dengan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang dimaksud dengan unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra itu
sendiri, seperti: tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan
gaya bahasa. Unsur-unsur ini harus ada karena akan menjadi kerangka dan
isi karya tersebut. Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur
yang berasal dari luar karya sastra, misalnya sosial, budaya, ekonomi,
politik, agama, dan filsafat. Faktor ekstrinsik tidak menjadi penentu
yang menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi, bagi pembaca, hal tersebut
tetap penting untuk diketahui karena akan membantu pemahaman makna karya
sastra, mengingat tidak ada karya sastra yang lahir dari kekosongan
budaya.
3. Drama
Pada
dasarnya drama tidak jauh berbeda dengan karya prosa fiksi. Kesamaan
itu berkaitan dengan aspek kesastraan yang terkandung di dalamnya.
Namun, ada perbedaan esensial yang membedakan antara karya drama dan
karya prosa fiksi, yakni pada tujuannya. Tujuan utama penulisan naskah
drama adalah untuk dipentaskan. Semi (1988) menyatakan bahwa drama
adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan.
Jika
dicermati secara saksama, drama memiliki dua aspek esensial, yakni
aspek cerita dan aspek pementasan yang berhubungan dengan seni lakon
atau teater. Drama sebenarnya memiliki tiga dimensi, yakni (1) sastra,
(2) gerakan, dan (3) ujaran. Oleh karena itu, naskah drama tidak disusun
khusus untuk dibaca seperti cerpen atau novel, tetapi lebih daripada
itu dalam penciptaan naskah drama sudah dipertimbangkan aspek-aspek
pementasannya. Dalam hampir setiap naskah drama selalu ditemukan narasi,
dialog, dan arahan tentang petunjuk lakuan atau akting.