Ketika itu, ia datang. Di sebuah sore yang teduh. Di bawah senja yang terhampar daun-daun karsen. Di sebuah bangku kayu dekat taman kota. Dalam lalu-lalangnya angin yang menampar tubuh ku. Ia menghampiriku dengan air wajah yang sungguh membingungkan. Parasnya sederhana dan sangat klasik, sekilas sorot matanya menampilkan sebuah penyesalan. Penyesalan yang dalam. Penyesalan dari sesuatu yang sudah pergi. Kepergian. Kehilangan. Sakit.
Senja menggelincir. Aku tertahan untuk bicara ketika ia bersebelahan dengan ku, kemudian,
"Hendak kemanakah sebenarnya hidup ini? Sungguh aku lelah tak main-main."
berkata ia dengan tatapan kosong mengarah matahari gendut.
"Ke perahu mimpi."
jawab aku melegakan nya.
"Perahu mimpi? aih, betapa hati senang berlayar."
mulai nampak pelangi di matanya selepas tadi hujan.
"Jangan terburu-buru berlayar, perahu pun belum angkat jangkar."
"Oh iya, semoga tak ada karang nanti."
"Berharaplah, tapi jangan lama-lama, nanti terluka."
Sejurus, nampak komplotan bangau hendak mencuri-curi perhatian pada langit. Dia melanjutkan..
"Bangau itu, tampak kah oleh mu? Kenapa mereka selalu berombongan? Adakah sesuatu yang mereka takutkan? Mungkin setan? Atau garpu listrik dewa zeus?"
"Mereka hanya takut berpisah, karna berpisah sudah pasti sendiri, karna berpisah sudah pasti sepi, karna berpisah sudah pasti bikin pusing."
"Hemm, hipotesis yang tak terlalu buruk."
"Berpisah itu menyakitkan."
"Ah, kenapa selalu saja ada perpisahan bila ada pertemuan? Kenapa selalu saja ada awal bila ada akhir? lalu kenpa aku terpisah?!"
ia menangis, menutup mata, membungkuk kan pundaknya.
"Tak perlu bersedih hati, ini belum seberapa. Hidup masih punya rahasia yang tak kita duga."
"Untuk apa rahasia bila sudah pasti kita akan mati? Untuk apa menebak bila sudah pasti kita akan kalah? Sungguh sia-sialah hidup ku ini. Aku ingin mati saja!!"
ia berteriak, sambil menggenggam sebuah silet karatan yang siap mengiris pergelangan tangan nya.
"Matilah saja kau. Hidup mu memang tak berguna."
..bersambung
0 comments:
Post a Comment