Hari itu
hari senin, tanggal 16, bulan 07, tahun 2002. Tepat sehari sebelum hari
kemerdekaan Republik Indonesia dirayakan dengan banyak pesta rakyat.
Aku sedikit lupa saat itu sedang terjadi pergolakan politik seperti apa. Tapi yang jelas, pada tahun itu banyak bendera warna-warni dengan berbagai macam simbol menghiasi televisi dan gang-gang sempit di daerah tempat ku tinggal.
Nama ku Resi Imam Bargowo. Anak ke dua dari tiga bersaudara. Aku dan keluarga ku meniti kehidupan di sebuah perumahan sederhana di daerah perbatasan antara Kab Serang dan Kab Tangerang. Umur ku menunjukan angka 12 pada tahun itu. Umur yang sungguh sangat menyiksa, sebab aku sering sekali dipukul ayah bila tak mau menunaikan shalat lima waktu.
Di hari tanggal dan tahun itu, juga ada sebuah kejadian yang taakan ku lupakan sampai dunia ini kiamat. Kejadian yang sungguh penuh keharuan sekaligus penuh dengan kekonyolan yang tak terbantah. Begini kejadiannya.
Saat itu jam 11 siang. Aku yang masih mengenyam pendidikan kelas 2 SMP, sedang duduk di halaman depan rumah, menantikan uang jajan yang akan diberikan ibu untuk ku.
Biasanya aku diberi uang jajan 5000 perak, tapi saat itu ibu hanya memeberi ku 3000 perak, karena kata ibu, ibu sedang tidak punya uang, jadi aku harus mengerti. Namun aku tak bisa menerima alasan yang jelas-jelas tak masuk akal itu. Mana mungkin ibu tak punya uang 2000 perak lagi untuk menambahi uang jajan ku, sedangkan aku tahu di dompet ibu banyak sekali uang yang beraneka warna.
Aku sedikit kecewa saat itu, dan meminta pada ibu untuk menambahi uang jajan ku yang sangat mengerikan itu.
Namun ibu tetap teguh, ibu tetap tak mau menambahkan uang jajan ku. Sampai aku merengek-rengek bercucuran air mata pun, ibu tak bergeming. Ritual rengek-merengek itu pun akhirnya berujung pada titik emosi yang tak terkontrol. Aku marah pada ibu, aku mengamuk sambil menedang-nendang pagar depan rumah. Banyak tetangga yang melihat tingkah polah ku, tapi setelah itu mereka berlalu.
"Oh, ada anak kecil kelebihan obat cacing.”
Aku sedikit lupa saat itu sedang terjadi pergolakan politik seperti apa. Tapi yang jelas, pada tahun itu banyak bendera warna-warni dengan berbagai macam simbol menghiasi televisi dan gang-gang sempit di daerah tempat ku tinggal.
Nama ku Resi Imam Bargowo. Anak ke dua dari tiga bersaudara. Aku dan keluarga ku meniti kehidupan di sebuah perumahan sederhana di daerah perbatasan antara Kab Serang dan Kab Tangerang. Umur ku menunjukan angka 12 pada tahun itu. Umur yang sungguh sangat menyiksa, sebab aku sering sekali dipukul ayah bila tak mau menunaikan shalat lima waktu.
Di hari tanggal dan tahun itu, juga ada sebuah kejadian yang taakan ku lupakan sampai dunia ini kiamat. Kejadian yang sungguh penuh keharuan sekaligus penuh dengan kekonyolan yang tak terbantah. Begini kejadiannya.
Saat itu jam 11 siang. Aku yang masih mengenyam pendidikan kelas 2 SMP, sedang duduk di halaman depan rumah, menantikan uang jajan yang akan diberikan ibu untuk ku.
Biasanya aku diberi uang jajan 5000 perak, tapi saat itu ibu hanya memeberi ku 3000 perak, karena kata ibu, ibu sedang tidak punya uang, jadi aku harus mengerti. Namun aku tak bisa menerima alasan yang jelas-jelas tak masuk akal itu. Mana mungkin ibu tak punya uang 2000 perak lagi untuk menambahi uang jajan ku, sedangkan aku tahu di dompet ibu banyak sekali uang yang beraneka warna.
Aku sedikit kecewa saat itu, dan meminta pada ibu untuk menambahi uang jajan ku yang sangat mengerikan itu.
Namun ibu tetap teguh, ibu tetap tak mau menambahkan uang jajan ku. Sampai aku merengek-rengek bercucuran air mata pun, ibu tak bergeming. Ritual rengek-merengek itu pun akhirnya berujung pada titik emosi yang tak terkontrol. Aku marah pada ibu, aku mengamuk sambil menedang-nendang pagar depan rumah. Banyak tetangga yang melihat tingkah polah ku, tapi setelah itu mereka berlalu.
"Oh, ada anak kecil kelebihan obat cacing.”
Mungkin begitu kata
mereka dalam hati.
Kemudian, dengan gerakan refleks aku melepaskan sepatu ku, lalu ku lemparkan sepatu yang dibelikan om Alie sebagai sogokan untuk mendapatkan kakak perempuan ku itu ke arah pintu rumah. Sontak kelakuan barbar itu mengundang kemurkaan yang meledak-ledak dari ibu ku. Ibu ku dengan gesit mengambil sepatu ku, dilemparkannyalah sepatu tak berdosa itu ke arah ku. Tapi aku bisa menghindar, dan sepatu itu berakhir mengenaskan di selokan yang biasa di obok-obok anak SD untuk mencari sebutir kelereng atau ikan cere.
Tak selesai sampai disitu, aku mengambil sepatu yang menggelepar bercampur kotoran lumpur berwarna hitam dari selokan dengan penuh keyakinan.
Ku melemparkannya lagi ke arah ibu, dan ternyata(selain pandai membuat kentang balado)ibu juga pandai untuk menangkis serangan dari ku. Sepatu itu tepat jatuh di balakang kaki gemulai ibu, sebelum akhirnya ibu mengelak ke kanan. Ibu tak kalah bersemangatnya, ia mengambil sepatu itu dengan penuh kemenangan.
Sebelum ibu ingin
melemparkannya, terlihat jelas mulut ibu komat kamit. Entah apa yang ia
ucapkan, mungkin semacam mantra, atau resep rahasia kentang balado yang akan diwariskan
pada adik ku karena aku berkelakuan kurang baik, aku benar-benar tak mengerti.
8 detik ibu melakukan ritual itu, ia melemparkan lagi sepatu itu tepat ke arah wajah bodoh ku. Namun, mungkin karena ibu salah mengucapkan mantra, sepatu itu mendarat dengan sukses di kepala pak Yono, ketua RT di lingkungan ku yang akan menagih uang sampah. Pak Yono kaget bukan main-main, ia ingin marah tapi berat hatinya. Kepala pak Yono benar-benar terlihat lucu dengan kotoran dari selokan yang bertengger di kepalanya. Saat itu aku benar-benar tertawa dengan kencang, dan aku merasa bahagia luar biasa(ah, kurang ajar sekali diriku ini)
Kemudian ibu menghampiri pak Yono dan membrondonginya dengan kata maaf. Pak Yono hanya tersenyum terpaksa pada ibu, tapi isyarat penuh dendam tampak di mata pak Yono saat ia melihat ku. Aku diam seribu bahasa, ibu bingung harus berbuat apa. Dan pak Yono pergi meninggalkan kami dengan dalil ingin mencuci rambut dirumah.
8 detik ibu melakukan ritual itu, ia melemparkan lagi sepatu itu tepat ke arah wajah bodoh ku. Namun, mungkin karena ibu salah mengucapkan mantra, sepatu itu mendarat dengan sukses di kepala pak Yono, ketua RT di lingkungan ku yang akan menagih uang sampah. Pak Yono kaget bukan main-main, ia ingin marah tapi berat hatinya. Kepala pak Yono benar-benar terlihat lucu dengan kotoran dari selokan yang bertengger di kepalanya. Saat itu aku benar-benar tertawa dengan kencang, dan aku merasa bahagia luar biasa(ah, kurang ajar sekali diriku ini)
Kemudian ibu menghampiri pak Yono dan membrondonginya dengan kata maaf. Pak Yono hanya tersenyum terpaksa pada ibu, tapi isyarat penuh dendam tampak di mata pak Yono saat ia melihat ku. Aku diam seribu bahasa, ibu bingung harus berbuat apa. Dan pak Yono pergi meninggalkan kami dengan dalil ingin mencuci rambut dirumah.
Dan sepatu ku itu,
entah dimana keberadannya sekarang. Aku pernah bertanya pada ibu mengenai
sepatu itu,
“Ibu, dimanakah
gerangan sepatu yang pernah menodai kesucian Pak Yono dulu?”
Lalu ibu menjawab
sambil mengiris kentang berbentuk dadu(menurut ku lebih mirip bentuk dadu yang
terselamatkan dari tembakan jarak dekat).
“Sepatu biadab mu
itu, sudah ibu tukar dengan bawang merah di tukang loak!”
"Oh my God!"
Muka ku seketika lusuh tak menentu.